llilacunay

218


Setelah menempuh perjalanan sekitar empat jam dari agenda berlibur mereka bersama para temannya, sore itu setelah mengantarkan Diazyra ke apartemennya, kini Jeffry dan Disya tiba di kediaman mereka dengan tenang.

Jeffry yang merasa tubuhnya pegal akibat menyetir sepanjang jalan, dengan segera ia merebahkan tubuhnya diatas sofa sembari menggeliat.

Sementara itu, Disya dengan cekatan berbenah menaruh barang-barang. Masih dengan perasaan kesal, ia merutuk dalam kegiatannya berbenah. Perempuan itu masih tak habis pikir dengan apa yang Jeffry permasalahkan.

Ia mengakui jika ia memang sedikit membuat kesalahan, tapi apakah hal kecil seperti itu benar-benar membuat suaminya marah bahkan sejak di perjalanan pun lelaki itu mengabaikan eksistensinya dan hanya berbicara pada Diaz, bahkan sampai saat ini Jeffry masih enggan untuk berbicara padanya.

Kini perempuan itu menghampiri Jeffry yang masih bergeming di sofa dengan mata terpejam, ia berjongkok memperhatikan raut wajah Jeffry yang amat terlihat kelelahan. Tangannya meraih jemari Jeffry yang menggantung kemudian menautkannya.

“Jeff, aku kan udah bilang maaf. Kamu kok tega banget sih gak maafin aku? Masalah sepele loh padahal, masa iya kamu cemburu masalah gitu doang. Kan udah jelas aku tuh ga ada hubungan bahkan dari sebelumnya aku sama kak Deon gak ada apa-apa. Kamu sendiri juga tau kan kalo aku sempet nolak kak Deon? Jangan marah, jangan diemin aku kayak gini dong, gak enak tau.”

Disya masih menatap Jeffry, sesaat ia berpikir mungkin lelaki dihadapannya tertidur. Namun setelah merasakan jika jemari yang ia genggam mendapat balasan dan menariknya hingga wajah Disya kini bertabrakan dengan bahu Jeffry.

“Siapa yang marah, hm?” Lelaki itu terkekeh mendapati jarak wajah mereka terpaut dekat.

“Ih! Nyebelin deh.”

“Siapa yang nyebelin?”

“Kamu Jeff, Kamu!”

“Kamu tuh ya, mana ada aku marah cuma gegara gitu doang?”

“Buktinya kamu diemin aku Jeff, mana pake blok-blok-an segala. Aku ngomong kamu kacangin, bilang maaf gak ditanggepin.”

“Ngisengin kamu doang, sayang. Aku tau kamu gak punya perasaan lebih ke Deon, tau banget, kalo ada ya kamu bukan punya aku sekarang.

“Tuh kan nyebelin banget ih jadi orang, aku udah overthink takut kamu beneran marah.”

Sebenarnya Jeffry sedari tadi mati-matian menahan dirinya, ia sengaja menjahili Disya dengan mengabaikannya.

“Udah jangan cemberut mulu, jelek.” Jeffry membelai helaian rambut Disya perlahan.

“Tau ah, nyebelin banget.” Disya hendak beranjak dari posisinya, namun tertahan oleh Jeffry.

“Sini aja, temenin dulu bentar.” Jeffry menepuk sofa disebelahnya.

“Kamu kalo mau tidur di kamar aja, jangan disini.” Ujar Disya dengan wajah juteknya.

Dengan tanpa peringatan, Jeffry menarik lengan Disya dengan kuat hingga tubuh perempuan itu jatuh diatas tubuhnya. Kemudian ia membaringkan Disya disampingnya diikuti kedua tangannya yang segera mengunci tubuh istrinya.

“Jeff.”

sst udah diem dulu, temenin aku tidur bentar.”

Disya tidak bisa berkutik, tubuhnya terkunci oleh tubuh Jeffry, bibirnya kelu saat perasaan itu kembali menyeruak dalam hatinya. Degupan jantungnya bekerja dua kali lipat saat mendapatkan kenyamanan yang diberikan oleh Jeffry.

Kini ia menyamankan dirinya dalam dekapan Jeffry, menelusupkan kepalanya pada dada bidang milik lelaki itu. Mereka saling berbagi kehangatan dalam sempitnya sofa, di sore hari.

202

Jeffry yang telah membersihkan tubuhnya setelah bermain dalam air, kini duduk disamping Disya yang sedari tadi hanya menjadi seorang penonton di tepi kolam.

Berbeda dengan Diaz, Mega, Tanya dan Kanaya yang kini sedang berenang dengan santai dihadapannya sekarang.

“Seru banget ya kalian kalo main, sampe terniat beneran bawa perlengkapan badminton. Malah netnya aja dipake main dikolam barusan.” Ujar Disya yang tengah memperhatikan Jeffry sibuk dengan ponselnya.

“Emang gini yang, kita kalo main gak tanggung-tanggung. Soalnya kapan lagi kita main bareng, terhalang schedule.”

Disya hanya menggangguk sebagai respon. Namun kini ia melihat seorang lelaki yang masih asing baginya tengah mengahampiri Kanaya.

“Jeff, itu kakaknya Kanaya?” Tanya Disya, Jeffry yang masih menatap ponsel kini mengikuti pandangan perempuan disampingnya.

“Iya, bang Tio. Ituloh yang punya bisnis Showroom famous se-Provinsi.”

Jawaban Jeffry membuat Disya tercengang, pasalnya ia kini sedang bersama orang-orang high class.

“Biasa aja kali, ga usah cengo gitu.” Jeffry menepuk pelan lengan Disya.

“Ih kaget tau, maksudnya kok aku bisa ada diantara kalian yang WOW gitu you know what i mean kan?”

“Gimana, gimana?”

“Nih ya, kamu anaknya ayah Panji yang punya perusahaan penerbit besar di negara ini, Kak Theo yang punya perusahaan property yang jangkauannya udah luas, Kak Joseph gak yakin sih tapi dia kek anak tunggal kaya raya juga apalagi dia fotograper terkenal, Kak Yudha sama Kak Deon yang merintis studio art juga itu hebat tau. Kalo Julian mah udahlah ga usah ditanya dia juga anak konglomerat, masalahnya dia ga neko neko untung sih.”

“Terus ada Diaz sama Kanaya yang udah top model juga kan, wah gila sih. Bisa-bisanya gue terdampar diantara orang orang old money. Tapi gue keren, haha.”

“Iya udah keren, banget malah. Aku ngerti maksud kamu apa, muji orang lain boleh tapi jangan sampe bikin kamu merasa insecure, perjuangan kamu sampe titik ini udah hebat banget, posisi kamu dikantor sebuah pencapaian kan? Semua orang udah hebat dalam hidupnya masing-masing, kehadiran kamu sekarang diantara kita itu sebagai makhluk sosial yang seperti orang lain punya aja. Gak ada perbedaan sama sekali, jangan sampe mikir kalo kamu gak pantes ada disini.”

“Ih Jeff, kamu salah deh ngomong gini saat aku lagi mood swing. Pengen nangis tau gak sih?”

“Ya sorry, aku gak bermaksud gitu. Uda-” Kalimat Jeffry terhenti kala ponselnya yang terletak diatas meja bergetar menandakan pesan masuk.

“Ayah, tuh.” Ucap Disya setelah ia mengintip layar notifikasi ponsel Jeffry.

Dengan segera Jeffry merain ponselnya lalu membalas pesan demi pesan yang ia terima dari ayahnya dengan Disya yang juga melihat isi percakapan diantara ayah dan anak itu.

Tak lama, Disya dan Jeffry saling menatap dalam diam setelah mereka mendapat pesan yang membuat mereka berdua tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

192


“Hai Jeff, Sya.”

Sapa Diaz kala perempuan itu memasuki mobil Jeffry yang menjemputnya di depan lobby apartemen.

“Hm, hai.”

“Gila Jeff gila, masa iya sore gini jam lima kita jalan ke Puncak sih?” Keluh Diaz secara tiba-tiba.

“Tanya yang punya hajat lah, gue mah ngikut aja.” Sahut Jeffry yang mulai melajukan kendaraannya menuju rumah Mega untuk menjemput Julian yang ingin pergi secara bersamaan.

“Siapa? Kak Theo?”

“Siapa lagi?” Jeffry mengendikan bahunya.

“Mendung ga sih?” Tanya Disya yang memperhatikan langit lewat kaca di dapannya.

“Nah kan, gue takutnya keujanan dijalan. Males banget, apalagi ke Puncak loh disana kan dingin kalo cuaca biasa aja apalagi kalo ujan.” Perempuan yang duduk di seat belakang itu masih saja mengeluh tanpa alasan.

“Lo kalo ga mau ikut ngapain ada disini deh gue tanya.” Jeffry melontarkan kalimat pada Diaz yang membuat perempuan itu mengerutkan keningnya dan mempoutkan bibirnya.

“Bosen aja di apart sendiri, lo pada mau trip yaudah ikut deh padahal gue masih agak capek dikit.”

“Yaudah gue puter balik nih nganterin lo balik ke apart kalo masih cape.”

“JANGAN JEFF AH ELO GA ASIK MASA IYA LO GAK MAU MAEN SAMA GUE SETELAH GUE KAGA PULANG DUA BULAN?”

“Baru dua bulan lo udah sekangen itu sama gue?”

“Ih kok goblok ya, lo sekarang jaga deh tingkah lo sama gue. Udah punya orang, yakali masih aja ngomong sebar-bar itu sama gue?”

“Emang gue ngomong apa, Diazyra??”

“Lo tuh ya, pura-pura atau gimana sih? Sya, maklumin ya suami lo emang gitu kelakuannya kadang.”

Disya yang sedari tadi diam mendengarkan ocehan mereka kini tersentak kala Diaz menyinggung namanya.

“Hah, eh? Oh tau nih maksudnya, tenang aja kok gue kan tau kalo kalian sepupuan apalagi kalian emang deket kan, gue juga bukan tipe yang strict kok.”

“Kali aja lo gak suka sama kedekatan gue gitu sama Jeff.”

“Engga lah, mana ada.”

“Nah kan, lo aja yang berlebihan.” Jeffry mendengus seraya menatap Diaz melalui Rear Vision Mirror.

“Ya kan gue agak agak throwback gitu.” Diaz segera memalingkan wajahnya menatap kaca mobil yang berada disampingnya, membuat Jeffry dan Disya bertatapan dalam diam.

“Kayaknya kita harus ke Shell dulu deh.” Jeffry berdecak.

“Yaudah, sekalian mau ke toilet.” Timpal Disya.

Jeffry memutar mobilnya menuju Shell yang sedikit terlewat, terlihat disana tidak terlalu banyak antrean hanya tiga mobil yang berada di depannya.

Disya segera melepas seat beltnya lalu tangannya meraih hanbag kecil, ia benar-benar membutuhkan toilet saat ini.

“Diaz, ikut ga ke toilet.”

“Engga deh.”

“Oke.”

Perempuan itu kemudian turun dari mobil lalu berjalan menuju toilet yang berada di pojok area Shell dengan sedikit tergesa.

Dan setelah ia memasuki toilet, ia menghela napas kasarnya. Dugaannya benar.

“My periode, ugh”

189


“Serius yang kamu mau buang sepatu itu?” Jeffry yang merebahkan dirinya di sofa melirik Disya yang masih berkutat menata sepatu.

“Sepatu mana?” Perempuan itu balik bertanya tanpa menoleh Jeffry.

“Sepatu yang samaan tadi di jalan, itu sepatu dari Tanya kan?”

“Engga lah yakali samaan doang dibuang, sayang bener mana dari Tanya lagi, kan di pabriknya juga bikin sampe ribuan.”

“Lah terus kata Jerrel?”

“Oh, itu mah waktu maba pernah gitu hehe.”

“Samaan sama siapa? Kating? Takut gitu ceritanya?” Jeffry bertanya jahil.

“Engga dih.” Lalu Disya menutup lemari sepatu kemudia ia memutar tubuhnya menghadap Jeffry.

“Itu sepatu dikasih mantan, tapi ternyata sialan banget tuh orang ngasih sepatu bekas mantannya.” Mengingat hal itu Disya kini kembali merasa kesal.

“Bekas mantannya? Terus dikasih ke kamu gitu?”

“Iya, awalnya gak tau cuma dikasih tau temennya ternyata itu barang-barang yang dibalikin lagi. Kebetulan ada sepatu, emang masih baru belum sempet dipake katanya tapi hellow mon maap aja siapa yang mau nerima sih barang bekasan dari mantannya?”

“Ada-ada aja.” Jeffry terkekeh.

“Iya kan gila kali tuh orang, nah aku buang di rumah kebetulan ada Jerrel. Aku males ngomong, jadi bilang ada yang samaan aja di jalan biar gak ribet.”

“Kirain beneran mau dibuang.” Jeffry bangkit lalu berjalan menuju dapur.

“Engga lah, belum jadi sultan soalnya.” Berbeda dengan Jeffry, Disya melangkahkan kakinya ke dalam kamar.

Sementara itu, Jeffry di dapur berkutat dengan panci yang sedang ia isi dengan air. Lalu ia membuka bufet mencari keberadaan mie instan.

“Jeff, kamu ngapain?” Disya muncul dengan beberapa gelas ditangannya, lalu ia meletakkan gelas itu dalam wastafel persis disamping Jeffry.

“Masak mie.” Sahut lelaki itu.

“Masak mie? Gak salah? Tadi kamu makan sate dua porsi plus nasi loh?”

“Ya laper lagi.”

“Buset dah, itu perut apa perut karet?” Disya menepuk-nepuk perut Jeffry.

“Mau ga sekalian?” Tawarnya pada Disya.

“Nope, thanks. Eh ini gelas kayaknya bekas kamu ya?” Disya menunjuk gelas-gelas di wastafel yang ia bawa tadi.

“Gelas?”

“Di meja rias aku ada dua, di nakas sebelah tempat tidur kamu ada dua, di kamar mandi satu.”

“Oh iya deh, maaf kebiasaan hehe.”

“Dasar, bisa-bisa ntar dapur pindah juga ke kamar.”

cup

“Bawel, ngomel mulu dari tadi.” Ucap Jeffry membuat Disya diam dalam sekejap.

Lalu perempuan itu mengerjap, menetralkan degup jantungnya yang bereaksi berlebihan akibat bibirnya yang menerima kecupan kilat.

“Ya.. nanti kamu kalo mau minum susah nyari gelas lari kemana kan?” Disya berusaha tidak menatap Jeffry yang kini tengah memperhatikannya dari samping.

Jeffry terkekeh melihat semburat merah yang menghiasi wajah Disya.

“Cie salting ya?” Jeffry menyenggol lengan perempuan itu.

“Dih siapa yang salting, kayak bocah aja.” Sangkal Disya.

Tek

“Kamu ngapain matiin kompornya? Itu udah mendidih tinggal masu-Jeff!” Pekik Disya akibat Jeffry dengan gerakan cepat mengangkat tubuhnya lalu mendudukan Disya pada kitchen set.

“Nga-pain?” Perempuan itu kelu, ketika menyadari jika kini Jeffry menepis jarak diantara mereka bahkan hidung mereka saling menempel satu sama lain.

“Jeff.”

Disya mencoba melepaskan diri dari situasi saat ini, namun usahanya sia-sia. Kedua lengan Jeffry ternyata sudah dengan sempurna melingkari pinggangnya.

“Katanya mau masak mie.” Perempuan itu berusaha tidak melakukan kontak mata dengan Jeffry.

“Ga jadi.”

“Kena-”

“cup.”

Lagi, Disya dibuat terdiam karena ulah bibir Jeffry yang kembali menyapa bibirnya.

Perempuan itu kini menatap netra hitam milik Jeffry dalam jarak yang tipis, mereka saling menatap hingga tenggelam tanpa disadari bibir keduanya saling bertaut.

Entah siapa yang memulai, ciuman mereka kini saling menuntut bahkan Jeffry sukses menjelajah kala Disya membuka mulutnya.

Kedua lengan perempuan itu kini beralih melingkar di leher Jeffry, merapatkan tubuhnya agar ia bisa memperdalam ciumannya.

Sesaat pagutan mereka terlepas untuk menghirup oksigen yang menipis, namun Jeffry tak ingin membuang kesempatannya. Ia kembali mengulum bibir ranum Disya dengan tergesa, membuat sang lawan sulit mengimbagi.

Jeffry memiringkan kepalanya, mengubah tempo ciumannya agar Disya bisa mengimbagi. Lantas ia tersenyum disela kegiatannya, tangannya kini bergerak naik turun di punggung Disya. Hingga satu tangannya menelusup masuk kedalam kaus yang Disya kenakan, mencari sesuatu untuk dilepaskan.

Saat pengait itu terlepas, Jeffey melepaskan ciumannya lantas menatap Disya yang kini sama-sama terengah.

Can I?

Disya yang mengerti arah pertanyaan Jeffry itu hanya mengangguk sebagai jawaban, kedua kakinya kini ia lingkarkan pada pinggang Jeffry.

Disya saat ini mati-matian menahan agar suaranya tidak keluar, ia meremas rambut Jeffry kala bibir lelaki itu bermain dengan lehernya.

“Jeff.”

Seolah tak mendengar, Jeffry masih melanjutkan kegiatannya dengan bermain diarea leher Disya. Kemudian tangannya yang berhasil menelusup kini tengah bermain walaupun masih tertutup.

“Jeff jangan di dapur.” Pinta Disya.

“Oke.”

Dengan cepat, ia menggendong Disya seperti koala. Ia melangkahkan kakinya membawa Disya ke dalam kamar.

Perlahan Jeffry membaringkan tubuh Disya, lalu menatap lekat netra coklat perempuannya. Tangannya menelusuri setiap inch wajah Disya, lalu ia mengecup kening istrinya itu dengan hangat.

“I love you.”

“I love you too.”

183


“Oh God.”

Disya menghembuskan nafas kasarnya seraya meletakan ponselnya pada nakas samping ranjang.

“Kenapa?”

“Kayaknya nanti disana yang waras cuma Mega sama Diaz doang deh.”

“Hah? Gimana?” Jeffry menyampingkan dirinya menghadap Disya.

“Jul katanya ngajak Ikhsan adeknya Mega, Tanya sama Ikhsan kalo udah berdua tuh kayak bocah yang ngerusuh banget, apalagi nanti Kanaya satu tipe sama Tanya Ikhsan, udahlah mereka pasti langsung match. Aku liat kelakuan Ikhsan sama Tanya kalo lagi kumat udah angkat tangan, jangan sampe nanti Kanaya terinfeksi kegilaan mereka.”

Jeffry hanya bisa menahan tawanya mendengar penuturan pasrah Disya akan prilaku temannya itu, ia juga tahu jika perempuan dihadapannya itu memiliki sifat sedikit tempramental, kemudian ia memperlihatkan layar ponsel miliknya pada Disya.

“Apa? Diaz? Ikut?”

Jeffry mengangguk.

“Oh iya Jeff, aku mau nanyain sesuatu tapi aku sadar kok kalo ini tuh bukan sesuatu yang harus aku ketahui tapi aku tuh kepo banget gila.”

“Nanya apa?”

Disya menyamakan posisinya, hingga mereka kini saling menatap.

“Soal Diaz dan kak Wilfan, mereka cerai kayaknya dengan engga baik ya?” Disya bertanya dengan hati-hati, ia takut menyinggung apalagi ia membawa nama Wilfan.

“Tadinya aku mau obrolin ini sama kamu, tapi timingnya gak pas, takutnya kamu kira aku jelekin atau merendahakan Wilfan. Tapi ini memang harus kamu tau, dan alasan ini alasan terbesar aku kenapa kamu harus jauhin Wilfan.”

“Merendahkan?”

“Diaz sama Wilfan udah nikah selama dua tahun dan mereka planning buat nunda dulu punya anak, tapi setelah tau Diaz hamil Wilfan gak mau itu. Wilfan menentang keras kehamilan Diaz, itu sesuatu yang aneh kan?”

“Awalnya Diaz acuh, dia pikir Wilfan masih sayang sama karir Diaz sendiri apalagi kalo setelah melahirkan takutnya Diaz ga bisa lanjut karir modeling. Dan gak ada sama sekali dia ngasih tau aku kalo Wilfan menentang soal kehamilan, tapi setelah usia empat bulan kehamilan Diaz dibawa ke rumah sakit.”

“Diaz keguguran.”

Disya masih bungkam, ia mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Jeffry. Lalu tanggannya menggenggam tangan milik Jeffry.

“Dari sana, semua keluarga Diaz termasuk aku mendesak untuk menggugat Wilfan.”

“Menggugat?”

“Dari hasil pemeriksaan dokter, ternyata Diaz mengonsumsi obat dan itu berakibat fatal pada janin Diaz, yang kasih obat itu Wilfan.”

“Jadi.. jangan bilang..–”

“He killed his baby.”

175.


Disya yang telah tiba di kantor lebih awal dari biasanya, kini duduk manis di sebuah kursi dengan tangannya yang memegang cup coklat panas. Ia menunggu Julian untuk datang guna menanggih hutang cerita yang tempo hari tidak sempat terucap, ia merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya saat ini. Manalagi setelah ia melihat bagaimana reaksi Diaz saat melihat sosok Wilfan ketika ia menjemput sepupu suaminya itu, dan suatu kebetulan Julian menambah kecurigaan dirinya tentang hubungan antara Diaz dan Wilfan.

Ia tahu jika hal ini bukanlah sesuatu yang layak ia ketahui, tapi apakah seorang perempuan akan mengabaikan rasa penasaran mereka? Oh tentu tidak.

Bahkan ia sendiri belum sempat menyelesaikan sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Wilfan beberapa hari belakangan ini, baik Disya ataupun Wilfan tidak ada yang menyinggung tentang pertengkaran itu, mereka terlalu sibuk untuk mengurusi masalah pribadi.

Disya melambaikan tangan dan tersenyum singkat kala mendapati Julian tiba di rooftop.

“Mega mana?” Tanya Disya saat Julian duduk disampingnya.

“Lo mau gue bawa Mega kesini?” Sahut Julian dengan nada sarkasnya.

“Ya engga, basa-basi doang napa sih?”

“Gue gak bareng Mega.” Ujar Julian lalu meneguk kopi kaleng yang ia bawa.

“Oh beratem, oke.” Disya mengangguk.

“Sembarangan, gue nginep di studio Joseph.” Sergah Julian.

“Oh kirain lo berantem, tapi awet juga ya lo sama Mega udah tiga tahun lho Jul. Kayaknya ini rekor terlama lo pacaran, deh.”

Kalimat yang keluar dari mulut Disya membuat Julian tersenyum simpul lalu memandang langit pagi.

“Lo pikir tiga tahun itu gampang apa? Capek, bosen, jenuh itu selalu ada, tapi apakah lo bisa mempertahankannya dengan saling percaya satu sama lain dan yang terpenting buat gue itu jujur. Apa yang lagi lo rasain, lo bilang kayak lo misalnya lagi capek sama gue, ya lo bilang sama gue. Biar gue intropeksi, sikap apa yang bikin lo capek sama gue. Bentar ngapain gue jadi ngomong begini sama lo?” Julian menatap Disya heran.

Disya terkekeh.

“Yaudahlah, mungkin gue nanti bisa ambil positifnya aja dari sesi curhat dadakan lo, Jul.”

Julian mengangguk.

“Soal bang Wilfan, sebenernya gue udah ngerasa aneh aja sama dia waktu lo mendadak ga masuk itu.” Julian kini memposisikan dirinya duduk menyamping menghadap Disya.

“Aneh gimana?”

“Lo pastinya udah bilang kan kalo Jeff suami lo?”

“Iyalah, yakali engga. Kan gue udah bilang mau ngasih tau kalo Jeff suami gue sama dia biar ga ada salah paham.”

“Diazyra sepupu Jeff kan?”

“Heem”

“Tapi kok menurut gue kenapa bang Wilfan bisa enggak tau kalo lo istri Jeff?”

“Ya.. iya juga ya? Tapi kan mereka juga udah cerai dua tahun yang lalu, Jul. Bisa jadi kan mereka udah saling gak contack?”

“Sya please deh, jaman sekarang canggih kali. Jeff sama bang Wilfan pasti saling follow kan di sosmed? Jeff aja upload foto nikahan lo berdua di twitter, post snapgram, masa kaga liat?”

Disya tertegun akan penjelasan Julian.

“Tapi.. gue dulu juga sempet kok stalk akun Instagram kak Wilfan, tapi kayak deactive deh.”

“Gue yang ngerasa anehnya disini gitu, Sya. Masa iya Jeff nikah dia kaga tau, kalo bisa dibilang Jeff pasti deket tuh sama bang Wilfan. Sikapnya kan bisa gampang deket sama orang, terus waktu bang Wilfan tau lo siapanya Jeff, dia gimana?”

“Kak Wilfan? Gue gak terlalu perhatiin dia sih tapi kayak ada yang dia tutupin dari gue, kayak apa ya dia aja kayak menghindar dari gue kemaren.”

“Dan lo tau waktu lo gak masuk bang Wilfan gimana? Yang dari pertama masuk dia orangnya postive vibe, aura sama wibawanya beneran sehebat itu plus ramah sama orang-orang tapi waktu lo absen, gue gak menemukan hal itu sama diri bang Wilfan.”

“Jul, lo jangan bilang gue yang merenggut itu dari bang Wilfan ya.”

“Anjir kaga, bukan, bukan gitu, terlalu kegeeran lo. Malah jadi kayak ada yang ngebatasin gitu gak sih? Apa sih gue nyebutnya ah elah, istilahnya gue lupa.”

“Dih, kalo lo gak tau jangan nanya gue ya. Gue aja gak tau lo mau ngomong apaan.”

“Pokoknya itulah ada, intinya gue merasa ada yang gak beres aja.”

Disya menyesap coklat panasnya perlahan seraya memperhatikan Julian.

“Oh iya, gue juga disuruh jauhin kak Wilfan.”

Ucapan Disya membuat Julian menautkan alisnya.

“Sama siapa?” Tanya Julian

“Jeff.”

“Ya takut lo aneh-aneh kali sama bang Wilfan, kan lo berantem gara-gara ketauan selingkuh, kan?”

“Jangan ngungkit itu ya, sialan.” Disya menyenggol kaki Julian.

“Eh tapi Jul, gue baru sadar deh sekarang. Waktu Jeff bilang nyuruh gue jauhin kak Wilfan kayak ada yang disembunyiin juga sama Jeff.”

“Disembunyiin gimana maksudnya?”

Shit, kayaknya gue beneran harus jauhin kak Wilfan. Perasaan gue gak enak beneran sumpah anjir, ditambah gue liat Diaz kemaren reaksinya kayak orang ketakutan. Mereka pisah kayaknya dengan enggak baik.

“Jul, nanti gue mau tanyain dulu deh soal ini sama Jeff. Serius, gue jadi kepikiran.

169


Setelah beberapa jam berkutat dengan laptop dan beberapa lembar kertas yang terletak diatas meja, pandangan Disya kini beralih pada benda bulat yang tepampang di dinding.

Pukul lima sore.

Perempuan itu menghela nafas panjang seraya meregangkan tubuhnya, tiga jam setelah ia menerima email yang telah dikerjakan oleh Kavin dan Wilfan dengan cepat ia menyelesaikannya.

Kemudian ia beranjak, mencoba melihat keadaan Jeffry dari celah pintu yang sedari tadi ia tinggalkan untuk merampungkan pekerjaannya.

Tidak seperti dugaannya, ia mengira jika Jeffry masih terlelap karena obat yang diresepkan dokter. Terbukti dengan Jeffry yang saat ini sudah meninggalkan tempat tidurnya, membuat Disya kini melangkah masuk mencari keberadaan lelaki itu.

“Jeff?”

Ketika ia membuka pintu kamar mandi, ia mendapati Jeffry dengan alat cukur yang sudah bertengger ditangannya dan oh, jangan lupakan jika bagian bawah wajah sekitar dagunya dipenuhi dengan shaving cream.

“Hm?” Jeffry hanya bergumam tanpa menoleh.

“Ngapain? Please ya, jangan dulu aneh-aneh deh, ntar lo pusing lagi terus jatoh gimana coba?” Disya kini berdiri tepat disamping Jeffry yang matanya masih terfokus pada pantulan cermin.

“Ya masalahnya kumis aku udah pada keliatan, ga enak juga.” Timpal Jeffry membuat Disya mendengus.

“Sini.” Disya mengambil alih pisau cukur yang ada di tangan Jeffry, kemudian menuntun tubuh lelaki itu untuk duduk di kloset. Membuat Jeffry terheran memperhatikan tingkah perempuannya kini, dengan gerakan pelan dan halus serta telaten Disya melanjutkan acara mencukur kumis Jeffry. Membuat sang empu mengerutkan alisnya.

“Kamu kok hebat sih, ga sakit loh yang.”

“Siapa dulu, Disya gitu.”

“Kayak yang udah biasa aja gitu, pro sih ini mah.”

“Emang iya sering, gini doang mah gampang.”

“Gampang? Diajarin sia-”

Tanpa menunggu Jeffry menyelesaikan kalimatnya, Disya segera menyergah agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

“Jerrel, aku sering cukurin Jerrel kalo ke kosan. Tuh anak males banget katanya kalo nyukur sendiri, kalo dirumah aja dicukurin mama.”

Mendengar penjelasan Disya yang mendadak, Jeffry tersenyum tipis dan hanya mengangguk sebagai respon.

Ia kini hanya bisa memperhatikan wajah Disya dari jarak sedekat ini, raut wajahnya terlihat serius disela kegiatannya. Perempuan itu tak terusik tengan tatapan Jeffry, ia sepenuhnya fokus pada kegiatan mencukur kumis lelakinya.

“Dah, sini.”

Disya menuntun Jeffry untuk mendekat pada wastafel, membilas wajah Jeffry dengan pelan lalu mengambil handuk yang bertengger di bahu Jeffry kemudian mengelapnya dengan lembut.

“Thank you.” Disya mengangkup wajah Jeffry setelah mengeringkan wajah lelakinya.

“Iya, kamu tuh jangan banyak gerak dulu deh. Udah mending diem tiduran di kasur jangan kemana-mana, ntar oleng nabrak lemari lagi. Kasian tau, lemarinya.”

Jeffry yang tadinya merasa amat diperhatikan Disya kini merasa dipermainkan.

“Kamu kasian sama lemari?” Jeffry tak terima.

“Abis disuruh diem malah jalan-jalan, inget katanya pengen sembuh. Tapi kalo ngeyel kaya gitu mau gimana sembuhnya?”

“Iya, iya.”

“Eh, rambut kamu belum dicukur dari kapan sih?” Jemari Disya kini merapikan helaian rambut Jeffry.

“Lupa.”

“Liat, apa matanya engga kecolok tuh sama rambut?”

“Lumayan sih.”

Lagi, Disya mendengus mendengar jawaban Jeffry.

“Mau aku potongin gak? Poninya aja deh dikit biar rapi, biar engga nyolok mata juga.”

“Iya boleh.”

“Oke tunggu bentar, aku ambil gunting sama kainnya dulu.”

Disya hendak melangkahkan kakinya keluar kamar mandi, namun lengannya ditahan oleh Jeffry.

Lelaki itu kembali mendudukan dirinya pada kloset, kemudian menarik tubuh Disya yang berdiri dihadapannya. Ia memeluk erat tubuh Disya, menenggelamkan wajahnya pada perut perempuan itu.

“Makasih, makasih udah mau rawat aku.”

Disya yang terdiam kini tangannya bergerak, mengelus surai pendek milik Jeffry dengan lembut, dan tak luput bibirnya yang membentuk lengkungan tulus.

Collapse


Disya yang telah selesai dengan kegiatan membersihkan diri dan berbenah apartemen yang terlihat jauh dari kata rapi akibat ia tinggalkan dua hari, kini ia merebahkan dirinya pada sofa. Ia memejamkan mata guna mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal karena kegiatan menyuci yang menguras tenaga, mengabaikan televisi yang ia hidupkan sedari tadi.

Namun kini atensinya teralihkan oleh suara denting notifikasi ponselnya yang ia letakan di meja tak jauh dari jangkauannya, sesaat ia terdiam melihat satu pop up bar namun setelah dua sampai tiga pop up bar yang ia terima, perempuan itu terperanjat.

Berbalut kaus purple oversize motif bunga selutut, ia panik mencari dompet serta kunci mobil. Setelah menemukan dua benda itu, ia segera bergegas menuju alamat yang ia dapatkan dari si pengirim pesan.

Disya mencoba mengendarai mobil milik Jeffry dengan pikiran tenangnya, namun sekeras ia berusaha untuk tenang ia tidak mampu.

Pikirannya dipenuhi oleh Jeffry.

Jeff sakit.

Tapi gue gak tau.

Disya lo bodoh banget.

Kalo Jeff kenapa-napa gue patut disalahin.

Gue gak becus ngurus suami.


Disya menyibak salah satu tirai UGD yang telah ditunjukan oleh perawat yang bertugas setelah menanyakan keberadaan Jeffry, ia mendapati Theo yang duduk di sisi ranjang tengah memainkan ponselnya. Sementara ia melihat Jeffry yang terbaring dengan mata terpejam, namun yang begitu membuat perasaannya khawatir ialah melihat selang infus yang ada pada tangan Jeffry.

“Sya.” Theo bangkit dari duduknya mendapati kehadiran Disya.

“Kak, Jeff kenapa?” Tanya Disya dengan suara tercekat.

“Jeff tadi pingsan di kantor, untung ga apa-apa sih dokter bilang darahnya rendah. Pantes aja dari kemaren gue liat tuh anak mukanya pucet banget, nunggu infus abis boleh pulang kok.” Jelas Theo.

Disya menghela nafas lega, beruntung tidak terjadi apa-apa.

“Gue tinggal gak apa-apa kan? Soalnya lo udah disini, ga butuh gue juga kan si Jepri.”

“O-oh iya kak, gak apa-apa kok. Makasih banget ya, Kak.”

“Yaudah gue pamit ya, bilangin besok ga usah masuk aja dia biar istirahat.”

Disya mengangguk.

“Eh, barusan lo naik apa? Grab? Mobil Jeff gue tinggal di kantor soalnya.”

“Kak, kalo lo lupa Jeff punya mobil engga satu.” Disya memperlihatkan kunci mobil milik Jeffry pada Theo.

“Oke, gue duluan.”

“Hati-hati kak.”

Theo melenggang meninggalkan Disya dan Jeffry yang masih terpejam, kemudian perempuan itu duduk di tepi ranjang. Tangannya mengenggam tangan Jeffry yang terbebas dari selang infus, ia memperhatikan raut wajah Jeffry dengan cemas.

“Gue gak guna ya jadi istri lo, gak bisa perhatiin kesehatan lo, bahkan gue malah ribut sama lo, nambahin beban pikiran lo yang ada.”

“Kedepannya gue pastiin hal kayak gini gak akan terulang lagi, gue janji, cukup kali ini aja gue gak becus.”

Disya terus berbicara pada dirinya sendiri dengan suara pelan, takut membangunkan laki-laki yang sedang terpejam karena kelelahan dihadapannya.

“Gue ga apa-apa.”

Suara itu membuat Disya tersentak.

Jeffry perlahan membuka kedua matanya, mendapati Disya yang kini beralih menatap dirinya.

“Jeff, sumpah maafin gue, gue harusnya lebih perh-” ucapan Disya terpotong kala Jeffry menarik tubuhnya kedalam pelukan.

“Gue ga apa-apa, gue baik-baik aja. Lo ga usah khawatir, cuma kurang darah doang.”

“Iya, tapi lo bikin gue panik tau ga sih?”

“Panik sih boleh, tapi panik lo.. agak..” Disya melepaskan diri dari rengkuhan Jeffry menunggu kalimat apa yang akan terucap dari mulut laki-laki dihadapannya.

“Agak apa?” Disya kesal sendiri menunggu Jeffry yang kini malah memperhatikannya.

“Ga etis aja, masa iya lo dasteran doang?” Jeffry sedikit menyunggingkan bibirnya melihat reaksi Disya akan pertanyaannya.

“Oalah anjing, lo berharap apa saat gue lagi beres-beres apartemen terus dapet kabar lo masuk ugd? Gue pake setelan kerja gitu?”

“Language babe.” Jeffry terkikik melihat Disya bersungut-sungut.

“Tuh kan malah ngetawain gue, lo tuh lagi sakit nyadar gak sih?”

“Iya iya, liat tuh bentar lagi infusnya abis.” Jeffry menunjuk kantung yang berisi cairan infus yang tinggal terisisa sedikit lagi.

Disya ikut melihat apa yang ditunjuk Jeffry, namun tangannya yang masih digenggam Jeffry kini ditarik perlahan dan dihujami kecupan oleh laki-laki itu.

“Makasih udah panik dan khawatir sama gue.”

Forgive


Suara ketukan pintu kamar hotel yang menjadi tempat persembunyian perempuan itu selama dua hari ini terdengar olehnya, menandakan adanya seseorang yang berkunjung. Ia tahu betul jika siapa yang akan berkunjung, pasalnya waktu saat ini menunjukan jam pulang kantor dan satu satunya orang yang mengetahui keberadaannya tidak lain adalah Julian, sang teman dekatnya.

Dengan malas Disya menghampiri pintu untuk membuka akses masuk temannya itu ke dalam kamar hotel, namun saat pintu terbuka ia tentu saja terkejut. Pasalnya bukan sosok Julian yang berada diambang pintu, melainkan seseorang yang mengisi penuh pikirannya selama dua hari ini, ia Jeffry.

Dengan cepat ia kembali menarik knop pintu untuk menutupnya, namun pintu itu tak sempat tertutup. Disya menoleh dan menemukan jika sepatu Jeffry menahan untuk menghalangi pintu kamar hotel.

Perempuan itu lantas melirik Jeffry dengan tatapan seolah mengatakan singkirin kaki lo dan itu berhasil, namun kini tangan Jeffry ikut memegang knop pintu luar.

“Sya, we need to talk.” Ucap pria itu.

“Ngomongin apa? Mau bawa gue pulang ke rumah Papa? Sorry.” Disya kembali menarik knop pintunya, namun lagi Jeffry menahannya.

“Oke gue minta maaf sempet salah paham sama lo, tapi biarin gue masuk dulu.” Pinta Jeffry yang kini berhasil membujuk Disya, perempuan itu meninggalkan pintu yang terbuka membiarkan Jeffry masuk ke dalam kamar hotel.

Bahkan pria itu masih dalam setelan jas kerjanya dengan penampilan masih rapi, berbanding dengan Disya yang hanya mengenakan kaus oversize selutut yang ia beli secara acak malam kemarin tentu dengan ikatan rambut yang terlihat asal.

“Ngapain dateng kesini? Perasaan gue minta Jul yang dateng, tapi yang dateng malah bukan dia.” Disya mendudukan dirinya di sofa diikuti Jeffry, mereka kini duduk saling berhadapan dengan suasana yang masih terlihat ada penghalang diantara mereka.

Jeffry berdeham, tentu ia sebenarnya masih marah pada Disya namun ia juga ingin mengetahui tentang apa yang sebenarnya sesuatu yang terlewatkan oleh dirinya saat melihat kejadian tempo hari di basement apartement.

“Suami lo Julian atau gue?” Jeffry menjawab pertanyaan Disya dengan Pertanyaan seolah menyindir.

“Oh syukur deh masih diakuin istrinya.” Jawab Disya asal.

“Gue dateng kesini bukan buat ngajak lo adu mulut Sya, tapi gue minta penjelasan atas kesalah pahaman yang gue liat waktu itu. Please, gue minta lo jujur tentang lo, semuanya. Gue mau kita terbuka satu sama lain, ga ada yang namanya main rahasia.” Jeffry memberi penekanan pada setiap kalimatnya.

“Lo pasti kecewa Jeff sama gue.” Ucap Disya dengan senyum pahitnya.

“Kecewa? Udah, gue udah kecewa Sya. Kecewa akan harapan gue kalo lo secara perlahan bisa menerima gue, tapi nyatanya apa yang gue dapatkan?”

“Jeff-”

“Tapi gue dateng kesini buat dengerin penjelasan lo, gue minta maaf dan begitupun maafin lo.”

“Lo maafin gue?”

“Lo ga mau mempertahan kan kita?”

Kalimat yang di lontarkan Jeffry tentang mempertahankan hubungan mereka sukses membuat buliran bening mengalir dari pelupuk mata Disya dalam diam, Jeffry yang melihat itu hanya bisa mengacak rambutnya sendiri.

“Jeff, gue.. sama Kak Wilfan..” Perempuan itu kini menunduk tak sanggup melihat netra hitam Jeffry.

“Gue dari dulu waktu sekolah emang suka sama Kak Wilfan, bahkan setelah gue ketemu sama lo dan.. dan gue nikah sama lo, perasaan gue masih ada buat Kak Wilfan. Iya gue tau Kak Wilfan sama Diaz waktu itu tapi semua rasa gue ada sama dia, dan setelah gue tau kalo mereka nikah mungkin saat itu juga gue harus bisa melupakan sosok Kak Wilfan. Tapi gue gak bisa Jeff, gak bisa.”

“Dan pertemuan serta insiden yang terlibat sama lo waktu itu, sesaat gue teralihkan, gue teralihkan akan kehadiran lo. Gak sepenuhnya ilang, cuma.. lo juga udah jadi sebagian dalam hidup gue, ngerti ga? Tapi dengan kejamnya semesta bikin lelucon gue ketemu Kak Wilfan.”

“Saat itu juga titik terlemah gue muncul lagi, segala yang udah gue kubur semuanya balik lagi, Kak Wilfan dan perasaan gue buat dia ada lagi.”

Disya sesaat mengusap kasar pipinya yang basah.

“Waktu lo liat gue di basement, iya dia confess ke gue. Dan lo bilang gue- kissing with him, apa gue gak punya hati sampe segitunya? Please hilangin pikiran lo tentang gue dan Kak Wilfan yang lo bilang ciuman tapi sumpah demi apapun gue gak lakuin itu, iya dia sempet mau cium gue tapi gue? Menghindar Jeff.”

“Lo marah dan kecewa sama gue wajar Jeff, gue emang jahat sama lo. Rasanya gak pantes banget gue di maafin sama lo.” Ujar Disya dengan menertawakan dirinya sendiri.

Jeffry sedari tadi yang mendengarkan Disya dengan tenang kini terdiam, ia menyandarkan tubuhnya pada sofa seraya kembali mencerna kalimat apa yang Disya jelaskan padanya.

“Gue maafin.”

Ucapan Jeffry membuat Disya mendongak melihat Jeffry yang menatap langit-langit kamar hotel.

“Tapi dengan satu syarat.” Jeffry kini menatap Disya.

“Jauhin Wilfan.”

Disya


Pagi ini devisi milik Wilfan sedang dalam keadaan kacau, dimana satu orang yang menjadi pilar untuk sebuah project belum menampakan batang hidungnya, apalagi disaat waktu menunjukan pukul sembilan pagi.

Tujuh orang anggota devisi ditambah Wilfan dan Kavin sedang berkumpul di meja bundar, yang terletak di bagian tengah ruangan sedang menunggu kabar dari seseorang yang sedari tadi tidak bisa dihubungi.

“Coba telpon Kak Jeff, Jul.” Usul Mega.

“Oh iya Kak Jeff, kaga kepikiran anjir.” Tanya menggerutu.

Julian yang mendengar usulan itu lantas melirik Wilfan yang berdiri disamping Kavin dengan tatapan datarnya, seolah ia acuh akan situasi saat ini.

Julian kemudian menghubungi Jeffry, tepat pada dering ketiga panggilan itu terjawab.

“Jep, lo dimana?” Julian bertanya langsung pada Jeffry disebrang sana.

“Ya di kantor.”

“Disya?”

“Hah?” Respon Jeffry atas pertanyaan Julian yang ambigu.

“Disya dimana? Maksud gue dia kerja apa engga?”

“Disya? Emang sekarang ga ada dikantor?”

Julian terdiam, mencerna pertanyaan yang dilontarkan Jeffry seraya menatap kumpulan orang-orang dihadapannya saat ini.

Kemudian ia sedikit menjauh dari kerumunan itu, lalu membalikan tubuhnya menghadap jendela.

“Kalo dia ada disini, gue ga akan nelpon lo.” Julian berbisik.

Hening, Jeffry tak mengeluarkan sepatah katapun walau sambungan telepon masih berjalan.

“Jep, jangan bilang lo ga tau dimana Disya sekarang.” Tuduh Julian.

“Jul... gue ga tau Disya dimana.”

Satu kalimat yang di dengar Julian sudah menjelaskan semuanya.

“Lo berantem?”

“Ya.”

Enggan bertanya lagi, Julian mengakhiri sambungan teleponnya pada Jeffry, lalu ia berbalik kembali menghadap tim devisi yang kini menunggu jawaban dari Julian.

“Anaknya sakit, kebetulan pulang ke rumah ortunya semalem.” Bohong Julian pada rekan satu devisinya.

Mendengar hal itu, beberapa orang kembali ke tempatnya masing-masing. Namun tidak dengan Julian dan Wilfan, mereka saling beradu tatapan. Entah mengapa firasat Julian kuat akan Wilfan yang menjadi dalang dibalik pertengkaran Disya dan Jeffry.