169
Setelah beberapa jam berkutat dengan laptop dan beberapa lembar kertas yang terletak diatas meja, pandangan Disya kini beralih pada benda bulat yang tepampang di dinding.
Pukul lima sore.
Perempuan itu menghela nafas panjang seraya meregangkan tubuhnya, tiga jam setelah ia menerima email yang telah dikerjakan oleh Kavin dan Wilfan dengan cepat ia menyelesaikannya.
Kemudian ia beranjak, mencoba melihat keadaan Jeffry dari celah pintu yang sedari tadi ia tinggalkan untuk merampungkan pekerjaannya.
Tidak seperti dugaannya, ia mengira jika Jeffry masih terlelap karena obat yang diresepkan dokter. Terbukti dengan Jeffry yang saat ini sudah meninggalkan tempat tidurnya, membuat Disya kini melangkah masuk mencari keberadaan lelaki itu.
“Jeff?”
Ketika ia membuka pintu kamar mandi, ia mendapati Jeffry dengan alat cukur yang sudah bertengger ditangannya dan oh, jangan lupakan jika bagian bawah wajah sekitar dagunya dipenuhi dengan shaving cream.
“Hm?” Jeffry hanya bergumam tanpa menoleh.
“Ngapain? Please ya, jangan dulu aneh-aneh deh, ntar lo pusing lagi terus jatoh gimana coba?” Disya kini berdiri tepat disamping Jeffry yang matanya masih terfokus pada pantulan cermin.
“Ya masalahnya kumis aku udah pada keliatan, ga enak juga.” Timpal Jeffry membuat Disya mendengus.
“Sini.” Disya mengambil alih pisau cukur yang ada di tangan Jeffry, kemudian menuntun tubuh lelaki itu untuk duduk di kloset. Membuat Jeffry terheran memperhatikan tingkah perempuannya kini, dengan gerakan pelan dan halus serta telaten Disya melanjutkan acara mencukur kumis Jeffry. Membuat sang empu mengerutkan alisnya.
“Kamu kok hebat sih, ga sakit loh yang.”
“Siapa dulu, Disya gitu.”
“Kayak yang udah biasa aja gitu, pro sih ini mah.”
“Emang iya sering, gini doang mah gampang.”
“Gampang? Diajarin sia-”
Tanpa menunggu Jeffry menyelesaikan kalimatnya, Disya segera menyergah agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
“Jerrel, aku sering cukurin Jerrel kalo ke kosan. Tuh anak males banget katanya kalo nyukur sendiri, kalo dirumah aja dicukurin mama.”
Mendengar penjelasan Disya yang mendadak, Jeffry tersenyum tipis dan hanya mengangguk sebagai respon.
Ia kini hanya bisa memperhatikan wajah Disya dari jarak sedekat ini, raut wajahnya terlihat serius disela kegiatannya. Perempuan itu tak terusik tengan tatapan Jeffry, ia sepenuhnya fokus pada kegiatan mencukur kumis lelakinya.
“Dah, sini.”
Disya menuntun Jeffry untuk mendekat pada wastafel, membilas wajah Jeffry dengan pelan lalu mengambil handuk yang bertengger di bahu Jeffry kemudian mengelapnya dengan lembut.
“Thank you.” Disya mengangkup wajah Jeffry setelah mengeringkan wajah lelakinya.
“Iya, kamu tuh jangan banyak gerak dulu deh. Udah mending diem tiduran di kasur jangan kemana-mana, ntar oleng nabrak lemari lagi. Kasian tau, lemarinya.”
Jeffry yang tadinya merasa amat diperhatikan Disya kini merasa dipermainkan.
“Kamu kasian sama lemari?” Jeffry tak terima.
“Abis disuruh diem malah jalan-jalan, inget katanya pengen sembuh. Tapi kalo ngeyel kaya gitu mau gimana sembuhnya?”
“Iya, iya.”
“Eh, rambut kamu belum dicukur dari kapan sih?” Jemari Disya kini merapikan helaian rambut Jeffry.
“Lupa.”
“Liat, apa matanya engga kecolok tuh sama rambut?”
“Lumayan sih.”
Lagi, Disya mendengus mendengar jawaban Jeffry.
“Mau aku potongin gak? Poninya aja deh dikit biar rapi, biar engga nyolok mata juga.”
“Iya boleh.”
“Oke tunggu bentar, aku ambil gunting sama kainnya dulu.”
Disya hendak melangkahkan kakinya keluar kamar mandi, namun lengannya ditahan oleh Jeffry.
Lelaki itu kembali mendudukan dirinya pada kloset, kemudian menarik tubuh Disya yang berdiri dihadapannya. Ia memeluk erat tubuh Disya, menenggelamkan wajahnya pada perut perempuan itu.
“Makasih, makasih udah mau rawat aku.”
Disya yang terdiam kini tangannya bergerak, mengelus surai pendek milik Jeffry dengan lembut, dan tak luput bibirnya yang membentuk lengkungan tulus.