189
“Serius yang kamu mau buang sepatu itu?” Jeffry yang merebahkan dirinya di sofa melirik Disya yang masih berkutat menata sepatu.
“Sepatu mana?” Perempuan itu balik bertanya tanpa menoleh Jeffry.
“Sepatu yang samaan tadi di jalan, itu sepatu dari Tanya kan?”
“Engga lah yakali samaan doang dibuang, sayang bener mana dari Tanya lagi, kan di pabriknya juga bikin sampe ribuan.”
“Lah terus kata Jerrel?”
“Oh, itu mah waktu maba pernah gitu hehe.”
“Samaan sama siapa? Kating? Takut gitu ceritanya?” Jeffry bertanya jahil.
“Engga dih.” Lalu Disya menutup lemari sepatu kemudia ia memutar tubuhnya menghadap Jeffry.
“Itu sepatu dikasih mantan, tapi ternyata sialan banget tuh orang ngasih sepatu bekas mantannya.” Mengingat hal itu Disya kini kembali merasa kesal.
“Bekas mantannya? Terus dikasih ke kamu gitu?”
“Iya, awalnya gak tau cuma dikasih tau temennya ternyata itu barang-barang yang dibalikin lagi. Kebetulan ada sepatu, emang masih baru belum sempet dipake katanya tapi hellow mon maap aja siapa yang mau nerima sih barang bekasan dari mantannya?”
“Ada-ada aja.” Jeffry terkekeh.
“Iya kan gila kali tuh orang, nah aku buang di rumah kebetulan ada Jerrel. Aku males ngomong, jadi bilang ada yang samaan aja di jalan biar gak ribet.”
“Kirain beneran mau dibuang.” Jeffry bangkit lalu berjalan menuju dapur.
“Engga lah, belum jadi sultan soalnya.” Berbeda dengan Jeffry, Disya melangkahkan kakinya ke dalam kamar.
Sementara itu, Jeffry di dapur berkutat dengan panci yang sedang ia isi dengan air. Lalu ia membuka bufet mencari keberadaan mie instan.
“Jeff, kamu ngapain?” Disya muncul dengan beberapa gelas ditangannya, lalu ia meletakkan gelas itu dalam wastafel persis disamping Jeffry.
“Masak mie.” Sahut lelaki itu.
“Masak mie? Gak salah? Tadi kamu makan sate dua porsi plus nasi loh?”
“Ya laper lagi.”
“Buset dah, itu perut apa perut karet?” Disya menepuk-nepuk perut Jeffry.
“Mau ga sekalian?” Tawarnya pada Disya.
“Nope, thanks. Eh ini gelas kayaknya bekas kamu ya?” Disya menunjuk gelas-gelas di wastafel yang ia bawa tadi.
“Gelas?”
“Di meja rias aku ada dua, di nakas sebelah tempat tidur kamu ada dua, di kamar mandi satu.”
“Oh iya deh, maaf kebiasaan hehe.”
“Dasar, bisa-bisa ntar dapur pindah juga ke kamar.”
cup
“Bawel, ngomel mulu dari tadi.” Ucap Jeffry membuat Disya diam dalam sekejap.
Lalu perempuan itu mengerjap, menetralkan degup jantungnya yang bereaksi berlebihan akibat bibirnya yang menerima kecupan kilat.
“Ya.. nanti kamu kalo mau minum susah nyari gelas lari kemana kan?” Disya berusaha tidak menatap Jeffry yang kini tengah memperhatikannya dari samping.
Jeffry terkekeh melihat semburat merah yang menghiasi wajah Disya.
“Cie salting ya?” Jeffry menyenggol lengan perempuan itu.
“Dih siapa yang salting, kayak bocah aja.” Sangkal Disya.
Tek
“Kamu ngapain matiin kompornya? Itu udah mendidih tinggal masu-Jeff!” Pekik Disya akibat Jeffry dengan gerakan cepat mengangkat tubuhnya lalu mendudukan Disya pada kitchen set.
“Nga-pain?” Perempuan itu kelu, ketika menyadari jika kini Jeffry menepis jarak diantara mereka bahkan hidung mereka saling menempel satu sama lain.
“Jeff.”
Disya mencoba melepaskan diri dari situasi saat ini, namun usahanya sia-sia. Kedua lengan Jeffry ternyata sudah dengan sempurna melingkari pinggangnya.
“Katanya mau masak mie.” Perempuan itu berusaha tidak melakukan kontak mata dengan Jeffry.
“Ga jadi.”
“Kena-”
“cup.”
Lagi, Disya dibuat terdiam karena ulah bibir Jeffry yang kembali menyapa bibirnya.
Perempuan itu kini menatap netra hitam milik Jeffry dalam jarak yang tipis, mereka saling menatap hingga tenggelam tanpa disadari bibir keduanya saling bertaut.
Entah siapa yang memulai, ciuman mereka kini saling menuntut bahkan Jeffry sukses menjelajah kala Disya membuka mulutnya.
Kedua lengan perempuan itu kini beralih melingkar di leher Jeffry, merapatkan tubuhnya agar ia bisa memperdalam ciumannya.
Sesaat pagutan mereka terlepas untuk menghirup oksigen yang menipis, namun Jeffry tak ingin membuang kesempatannya. Ia kembali mengulum bibir ranum Disya dengan tergesa, membuat sang lawan sulit mengimbagi.
Jeffry memiringkan kepalanya, mengubah tempo ciumannya agar Disya bisa mengimbagi. Lantas ia tersenyum disela kegiatannya, tangannya kini bergerak naik turun di punggung Disya. Hingga satu tangannya menelusup masuk kedalam kaus yang Disya kenakan, mencari sesuatu untuk dilepaskan.
Saat pengait itu terlepas, Jeffey melepaskan ciumannya lantas menatap Disya yang kini sama-sama terengah.
“Can I?“
Disya yang mengerti arah pertanyaan Jeffry itu hanya mengangguk sebagai jawaban, kedua kakinya kini ia lingkarkan pada pinggang Jeffry.
Disya saat ini mati-matian menahan agar suaranya tidak keluar, ia meremas rambut Jeffry kala bibir lelaki itu bermain dengan lehernya.
“Jeff.”
Seolah tak mendengar, Jeffry masih melanjutkan kegiatannya dengan bermain diarea leher Disya. Kemudian tangannya yang berhasil menelusup kini tengah bermain walaupun masih tertutup.
“Jeff jangan di dapur.” Pinta Disya.
“Oke.”
Dengan cepat, ia menggendong Disya seperti koala. Ia melangkahkan kakinya membawa Disya ke dalam kamar.
Perlahan Jeffry membaringkan tubuh Disya, lalu menatap lekat netra coklat perempuannya. Tangannya menelusuri setiap inch wajah Disya, lalu ia mengecup kening istrinya itu dengan hangat.
“I love you.”
“I love you too.”