Collapse
Disya yang telah selesai dengan kegiatan membersihkan diri dan berbenah apartemen yang terlihat jauh dari kata rapi akibat ia tinggalkan dua hari, kini ia merebahkan dirinya pada sofa. Ia memejamkan mata guna mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal karena kegiatan menyuci yang menguras tenaga, mengabaikan televisi yang ia hidupkan sedari tadi.
Namun kini atensinya teralihkan oleh suara denting notifikasi ponselnya yang ia letakan di meja tak jauh dari jangkauannya, sesaat ia terdiam melihat satu pop up bar namun setelah dua sampai tiga pop up bar yang ia terima, perempuan itu terperanjat.
Berbalut kaus purple oversize motif bunga selutut, ia panik mencari dompet serta kunci mobil. Setelah menemukan dua benda itu, ia segera bergegas menuju alamat yang ia dapatkan dari si pengirim pesan.
Disya mencoba mengendarai mobil milik Jeffry dengan pikiran tenangnya, namun sekeras ia berusaha untuk tenang ia tidak mampu.
Pikirannya dipenuhi oleh Jeffry.
Jeff sakit.
Tapi gue gak tau.
Disya lo bodoh banget.
Kalo Jeff kenapa-napa gue patut disalahin.
Gue gak becus ngurus suami.
Disya menyibak salah satu tirai UGD yang telah ditunjukan oleh perawat yang bertugas setelah menanyakan keberadaan Jeffry, ia mendapati Theo yang duduk di sisi ranjang tengah memainkan ponselnya. Sementara ia melihat Jeffry yang terbaring dengan mata terpejam, namun yang begitu membuat perasaannya khawatir ialah melihat selang infus yang ada pada tangan Jeffry.
“Sya.” Theo bangkit dari duduknya mendapati kehadiran Disya.
“Kak, Jeff kenapa?” Tanya Disya dengan suara tercekat.
“Jeff tadi pingsan di kantor, untung ga apa-apa sih dokter bilang darahnya rendah. Pantes aja dari kemaren gue liat tuh anak mukanya pucet banget, nunggu infus abis boleh pulang kok.” Jelas Theo.
Disya menghela nafas lega, beruntung tidak terjadi apa-apa.
“Gue tinggal gak apa-apa kan? Soalnya lo udah disini, ga butuh gue juga kan si Jepri.”
“O-oh iya kak, gak apa-apa kok. Makasih banget ya, Kak.”
“Yaudah gue pamit ya, bilangin besok ga usah masuk aja dia biar istirahat.”
Disya mengangguk.
“Eh, barusan lo naik apa? Grab? Mobil Jeff gue tinggal di kantor soalnya.”
“Kak, kalo lo lupa Jeff punya mobil engga satu.” Disya memperlihatkan kunci mobil milik Jeffry pada Theo.
“Oke, gue duluan.”
“Hati-hati kak.”
Theo melenggang meninggalkan Disya dan Jeffry yang masih terpejam, kemudian perempuan itu duduk di tepi ranjang. Tangannya mengenggam tangan Jeffry yang terbebas dari selang infus, ia memperhatikan raut wajah Jeffry dengan cemas.
“Gue gak guna ya jadi istri lo, gak bisa perhatiin kesehatan lo, bahkan gue malah ribut sama lo, nambahin beban pikiran lo yang ada.”
“Kedepannya gue pastiin hal kayak gini gak akan terulang lagi, gue janji, cukup kali ini aja gue gak becus.”
Disya terus berbicara pada dirinya sendiri dengan suara pelan, takut membangunkan laki-laki yang sedang terpejam karena kelelahan dihadapannya.
“Gue ga apa-apa.”
Suara itu membuat Disya tersentak.
Jeffry perlahan membuka kedua matanya, mendapati Disya yang kini beralih menatap dirinya.
“Jeff, sumpah maafin gue, gue harusnya lebih perh-” ucapan Disya terpotong kala Jeffry menarik tubuhnya kedalam pelukan.
“Gue ga apa-apa, gue baik-baik aja. Lo ga usah khawatir, cuma kurang darah doang.”
“Iya, tapi lo bikin gue panik tau ga sih?”
“Panik sih boleh, tapi panik lo.. agak..” Disya melepaskan diri dari rengkuhan Jeffry menunggu kalimat apa yang akan terucap dari mulut laki-laki dihadapannya.
“Agak apa?” Disya kesal sendiri menunggu Jeffry yang kini malah memperhatikannya.
“Ga etis aja, masa iya lo dasteran doang?” Jeffry sedikit menyunggingkan bibirnya melihat reaksi Disya akan pertanyaannya.
“Oalah anjing, lo berharap apa saat gue lagi beres-beres apartemen terus dapet kabar lo masuk ugd? Gue pake setelan kerja gitu?”
“Language babe.” Jeffry terkikik melihat Disya bersungut-sungut.
“Tuh kan malah ngetawain gue, lo tuh lagi sakit nyadar gak sih?”
“Iya iya, liat tuh bentar lagi infusnya abis.” Jeffry menunjuk kantung yang berisi cairan infus yang tinggal terisisa sedikit lagi.
Disya ikut melihat apa yang ditunjuk Jeffry, namun tangannya yang masih digenggam Jeffry kini ditarik perlahan dan dihujami kecupan oleh laki-laki itu.
“Makasih udah panik dan khawatir sama gue.”