202
—
Jeffry yang telah membersihkan tubuhnya setelah bermain dalam air, kini duduk disamping Disya yang sedari tadi hanya menjadi seorang penonton di tepi kolam.
Berbeda dengan Diaz, Mega, Tanya dan Kanaya yang kini sedang berenang dengan santai dihadapannya sekarang.
“Seru banget ya kalian kalo main, sampe terniat beneran bawa perlengkapan badminton. Malah netnya aja dipake main dikolam barusan.” Ujar Disya yang tengah memperhatikan Jeffry sibuk dengan ponselnya.
“Emang gini yang, kita kalo main gak tanggung-tanggung. Soalnya kapan lagi kita main bareng, terhalang schedule.”
Disya hanya menggangguk sebagai respon. Namun kini ia melihat seorang lelaki yang masih asing baginya tengah mengahampiri Kanaya.
“Jeff, itu kakaknya Kanaya?” Tanya Disya, Jeffry yang masih menatap ponsel kini mengikuti pandangan perempuan disampingnya.
“Iya, bang Tio. Ituloh yang punya bisnis Showroom famous se-Provinsi.”
Jawaban Jeffry membuat Disya tercengang, pasalnya ia kini sedang bersama orang-orang high class.
“Biasa aja kali, ga usah cengo gitu.” Jeffry menepuk pelan lengan Disya.
“Ih kaget tau, maksudnya kok aku bisa ada diantara kalian yang WOW gitu you know what i mean kan?”
“Gimana, gimana?”
“Nih ya, kamu anaknya ayah Panji yang punya perusahaan penerbit besar di negara ini, Kak Theo yang punya perusahaan property yang jangkauannya udah luas, Kak Joseph gak yakin sih tapi dia kek anak tunggal kaya raya juga apalagi dia fotograper terkenal, Kak Yudha sama Kak Deon yang merintis studio art juga itu hebat tau. Kalo Julian mah udahlah ga usah ditanya dia juga anak konglomerat, masalahnya dia ga neko neko untung sih.”
“Terus ada Diaz sama Kanaya yang udah top model juga kan, wah gila sih. Bisa-bisanya gue terdampar diantara orang orang old money. Tapi gue keren, haha.”
“Iya udah keren, banget malah. Aku ngerti maksud kamu apa, muji orang lain boleh tapi jangan sampe bikin kamu merasa insecure, perjuangan kamu sampe titik ini udah hebat banget, posisi kamu dikantor sebuah pencapaian kan? Semua orang udah hebat dalam hidupnya masing-masing, kehadiran kamu sekarang diantara kita itu sebagai makhluk sosial yang seperti orang lain punya aja. Gak ada perbedaan sama sekali, jangan sampe mikir kalo kamu gak pantes ada disini.”
“Ih Jeff, kamu salah deh ngomong gini saat aku lagi mood swing. Pengen nangis tau gak sih?”
“Ya sorry, aku gak bermaksud gitu. Uda-” Kalimat Jeffry terhenti kala ponselnya yang terletak diatas meja bergetar menandakan pesan masuk.
“Ayah, tuh.” Ucap Disya setelah ia mengintip layar notifikasi ponsel Jeffry.
Dengan segera Jeffry merain ponselnya lalu membalas pesan demi pesan yang ia terima dari ayahnya dengan Disya yang juga melihat isi percakapan diantara ayah dan anak itu.
Tak lama, Disya dan Jeffry saling menatap dalam diam setelah mereka mendapat pesan yang membuat mereka berdua tidak tahu harus bereaksi seperti apa.