llilacunay


Anna tengah duduk di kursi balkon menikmati semilir angin malam hari yang menerpa tubuhnya, ia memperhatikan luasnya rumah Arez serta kawasan perumahan yang begitu tenang.

Ia bahkan sampai tidak menyadari jika kursi yang berada di sebelahnya telah diisi oleh kehadiran Arez, pria itu memberikan secangkir teh pada Anna.

“Liatin apa?” Tanya Arez seraya menyesap tehnya.

“Eh.” Arez tersenyum tipis mendapat respon Anna yang terkejut akan kehadirannya.

“Ngelamun?”

“Saya baru kali ini diem di sini, ternyata suasananya enak juga ya. Cocok banget buat tenangin pikiran kalo lagi mumet, soalnya jarak antar penghuni perumahannya gak deket terus ya tentram gitu.”

“Memangnya berbeda dengan di rumah kamu?”

“Wah, jangan disamain. Ini kalo di rumah saya jam sepuluh malem tuh bukannya istirahat atau mulai matiin tv siap mau tidur, malah karaoke terus suaranya tuh kenceng banget. Ganggu orang kayak saya yang capek abis kerja butuh istirahat tuh malah bikin saya emosi, mau saya datengin tapi saya gak punya tenaga buat marah-marah juga.”

“Gak punya tenaga atau memang gak berani?” Pertanyaan Arez membuat Anna mendelik.

“Dua-duanya sih, tapi ya harusnya mereka mikir gak sih malem tuh waktunya buat istirahat. Bukan malah karaokean, kalo mau ya pergi ketempatnya, bukan di rumah apalagi perumahan padat penduduk gitu kan gak sedikit juga yang punya anak-anak bahkan balita.”

“Apa warga sana gak ada yang negur?”

“Ada, hari ini ditegur besoknya diem hari berikutnya berisik lagi. Gitu aja terus sampe warga di sana tuh udah bosen negurnya.”

Arez hanya menggangguk sebagai respon, kini ia mengikuti Anna yang tengah memperhatikan langit yang nampak kelabu.

“Kabar bunda sama ayah gimana?” Tanya Arez.

“Baik-baik aja, bunda kemaren ada chat kok.” Anna menyesap teh pemberian Arez tadi.

“Oh iya, saya masih malu sama kejadian yang ngaku-ngaku saya punya adek.” Anna tertawa diikuti Arez.

“Supaya apa kamu bohong sama saya ngaku punya adik?”

“Ya kan waktu itu kaget bukan main dong disuruh bayar cicilan setahun, saya kan punya kebutuhan yang lain juga waktu itu, mana bunda masih harus rajin check up. Kalo saya sanggupin bayar setahun, minion saya gak ada isinya.”

“Minion?”

“Ah, celengan maksudnya.”

“Kan bank ada, masa masih pakai celengan?”

“Ya memang ditabung di bank juga sih, minion isinya cuma recehan aja.”

Arez menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Anna tentang celengannya itu.

“Seno sepupu kamu satu satunya?”

“Heem, tapi itu dari pihak bunda. Kalo dari ayah, saya gak punya sepupu karena ayah anak tunggal.”

“Ah, saya jadi ngerti kalo Seno protektif sama kamu sekarang itu karena apa.”

“Iya tapi nyebelin sumpah, mana saya orangnya emosian Kak. Cuma kadang saya juga inget kalo Seno tuh memang sesayang itu sama saya, tapi ngajak ribut mulu gitu. Mungkin kesepian aja kali, sepupu dia dari pihak ayahnya juga cowo semua, oh iya Seno sebenernya dulu punya adik tapi sakit parah dan ya.. dia gak berhasil lawan penyakitnya. Perempuan dan seumuran sama saya juga.”

“Oh ya? Saya baru tahu Seno punya adik, dulu juga Seno setau saya anak tunggal.”

“Engga, itu kayaknya waktu kak Oza pindah udah setahun keluarga kita kehilangan adeknya Seno.”

“Ah.”

“Oh iya, aku waktu kemaren dikasih tau kalo kak Oza sama Kak Arez adek kakak tuh kaget banget. Sumpah gak nyangka sama sekali, diliat dari kemiripan nol besar, dari sikap kalian di kantor juga gak ada miripnya. Interaksi kalian biasa aja kayak seperlunya banget, gak mencerminkan layaknya sodara apalagi satu rumah.”

“Itu kemauan Wira, dia udah janji sama Papa dulu kalo dia gak mau langsung duduk di atas punya jabatan. Dia mau belajar dari bawah, merahasiakan identitas dan Papa bilang boleh.”

Anna terdiam sesaat, memperhatikan Arez yang terlihat menimbang sesuatu untuk dikatakan padanya.

“Saya juga ingin seperti Wira, bisa memahami pekerjaan dari persepektif bagian-bagian karyawan bagaimana. Tapi saya baru satu bulan magang di kantor cabang Singapore, Papa meninggal dan terpaksa saya menggantikan posisi Papa di sini.”

Anna semakin terdiam, ia tidak menyangka jika Arez akan menyinggung tentang papanya yang sudah beberapa tahun meninggal. Anna tahu, jika Arez sebenarnya masih belum bisa sepenuhnya melupakan kejadian pilu itu. Wira memberi tahu, jika keluarga mereka membicarakan kenangan tentang sang papa, Arez akan menangis.

Anna perlahan menggenggam tangan Arez yang menangkup cangkir teh di meja, melihat sekilas Arez yang tengah berusaha mengontrol diri dengan memejamkan matanya.

“Masuk yuk, anginnya makin kenceng.” Anna meraih lengan Arez.

Pria itu bangkit lalu mengikuti langkah Anna, dengan erat menggenggam tangan perempuannya.

Anna mendudukan Arez di ranjang, kemudian ia melepaskan genggaman tangan Arez. Ia kembali melangkah untuk menutup pintu balkon, setelah itu ia kembali, berdiri di hadapan Arez yang duduk terdiam.

“Mau peluk?” Tawar Anna.

Arez mendongakkan kepalanya melihat Anna.

“Mau gak? Ini kalo gak mau, nanti tidur jangan peluk saya.”

Tanpa mengatakan jawaban, Arez dengan segera memeluk Anna. Ia membenamkan wajahnya tepat di perut istrinya dengan erat.

Anna tahu, jika saat ini Arez tengah menahan gejolak emosi pilunya mengingat tentang sang papa. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa untuk menghiburnya, ia hanya bisa memberikan pelukan untuk tempatnya bersandar.


Anna tengah duduk di kursi balkon menikmati semilir angin malam hari yang menerpa tubuhnya, ia memperhatikan luasnya rumah Arez serta kawasan perumahan yang begitu tenang.

Ia bahkan sampai tidak menyadari jika kursi yang berada di sebelahnya telah diisi oleh kehadiran Arez, pria itu memberikan secangkir teh pada Anna.

“Liatin apa?” Tanya Arez seraya menyesap tehnya.

“Eh.” Arez tersenyum tipis mendapat respon Anna yang terkejut akan kehadirannya.

“Ngelamun?”

“Saya baru kali ini diem di sini, ternyata suasananya enak juga ya. Cocok banget buat tenangin pikiran kalo lagi mumet, soalnya jarak antar penghuni perumahannya gak deket terus ya tentram gitu.”

“Memangnya berbeda dengan di rumah kamu?”

“Wah, jangan disamain. Ini kalo di rumah saya jam sepuluh malem tuh bukannya istirahat atau mulai matiin tv siap mau tidur, malah karaoke terus suaranya tuh kenceng banget. Ganggu orang kayak saya yang capek abis kerja butuh istirahat tuh malah bikin saya emosi, mau saya datengin tapi saya gak punya tenaga buat marah-marah juga.”

“Gak punya tenaga atau memang gak berani?” Pertanyaan Arez membuat Anna mendelik.

“Dua-duanya sih, tapi ya harusnya mereka mikir gak sih malem tuh waktunya buat istirahat. Bukan malah karaokean, kalo mau ya pergi ketempatnya, bukan di rumah apalagi perumahan padat penduduk gitu kan gak sedikit juga yang punya anak-anak bahkan balita.”

“Apa warga sana gak ada yang negur?”

“Ada, hari ini ditegur besoknya diem hari berikutnya berisik lagi. Gitu aja terus sampe warga di sana tuh udah bosen negurnya.”

Arez hanya menggangguk sebagai respon, kini ia mengikuti Anna yang tengah memperhatikan langit yang nampak kelabu.

“Kabar bunda sama ayah gimana?” Tanya Arez.

“Baik-baik aja, bunda kemaren ada chat kok.” Anna menyesap teh pemberian Arez tadi.

“Oh iya, saya masih malu sama kejadian yang ngaku-ngaku saya punya adek.” Anna tertawa diikuti Arez.

“Supaya apa kamu bohong sama saya ngaku punya adik?”

“Ya kan waktu itu kaget bukan main dong disuruh bayar cicilan setahun, saya kan punya kebutuhan yang lain juga waktu itu, mana bunda masih harus rajin check up. Kalo saya sanggupin bayar setahun, minion saya gak ada isinya.”

“Minion?”

“Ah, celengan maksudnya.”

“Kan bank ada, masa masih pakai celengan?”

“Ya memang ditabung di bank juga sih, minion isinya cuma recehan aja.”

Arez menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Anna tentang celengannya itu.

“Seno sepupu kamu satu satunya?”

“Heem, tapi itu dari pihak bunda. Kalo dari ayah, saya gak punya sepupu karena ayah anak tunggal.”

“Ah, saya jadi ngerti kalo Seno protektif sama kamu sekarang itu karena apa.”

“Iya tapi nyebelin sumpah, mana saya orangnya emosian Kak. Cuma kadang saya juga inget kalo Seno tuh memang sesayang itu sama saya, tapi ngajak ribut mulu gitu. Mungkin kesepian aja kali, sepupu dia dari pihak ayahnya juga cowo semua, oh iya Seno sebenernya dulu punya adik tapi sakit parah dan ya.. dia gak berhasil lawan penyakitnya. Perempuan dan seumuran sama saya juga.”

“Oh ya? Saya baru tahu Seno punya adik, dulu juga Seno setau saya anak tunggal.”

“Engga, itu kayaknya waktu kak Oza pindah udah setahun keluarga kita kehilangan adeknya Seno.”

“Ah.”

“Oh iya, aku waktu kemaren dikasih tau kalo kak Oza sama Kak Arez adek kakak tuh kaget banget. Sumpah gak nyangka sama sekali, diliat dari kemiripan nol besar, dari sikap kalian di kantor juga gak ada miripnya. Interaksi kalian biasa aja kayak seperlunya banget, gak mencerminkan layaknya sodara apalagi satu rumah.”

“Itu kemauan Wira, dia udah janji sama Papa dulu kalo dia gak mau langsung duduk di atas punya jabatan. Dia mau belajar dari bawah, merahasiakan identitas dan Papa bilang boleh.”

Anna terdiam sesaat, memperhatikan Arez yang terlihat menimbang sesuatu untuk dikatakan padanya.

“Saya juga ingin seperti Wira, bisa memahami pekerjaan dari persepektif bagian-bagian karyawan bagaimana. Tapi saya baru satu bulan magang di kantor cabang Singapore, Papa meninggal dan terpaksa saya menggantikan posisi Papa di sini.”

Anna semakin terdiam, ia tidak menyangka jika Arez akan menyinggung tentang papanya yang sudah beberapa tahun meninggal. Anna tahu, jika Arez sebenarnya masih belum bisa sepenuhnya melupakan kejadian pilu itu. Wira memberi tahu, jika keluarga mereka membicarakan kenangan tentang sang papa, Arez akan menangis.

Anna perlahan menggenggam tangan Arez yang menangkup cangkir teh di meja, melihat sekilas Arez yang tengah berusaha mengontrol diri dengan memejamkan matanya.

“Masuk yuk, anginnya makin kenceng.” Anna meraih lengan Arez.

Pria itu bangkit lalu mengikuti langkah Anna, dengan erat menggenggam tangan perempuannya.

Anna mendudukan Arez di ranjang, kemudian ia melepaskan genggaman tangan Arez. Ia kembali melangkah untuk menutup pintu balkon, setelah itu ia kembali, berdiri di hadapan Arez yang duduk terdiam.

“Mau peluk?” Tawar Anna.

Arez mendongakkan kepalanya melihat Anna.

“Mau gak? Ini kalo gak mau, nanti tidur jangan peluk saya.”

Tanpa mengatakan jawaban, Arez dengan segera memeluk Anna. Ia membenamkan wajahnya tepat di perut istrinya dengan erat.

Anna tahu, jika saat ini Arez tengah menahan gejolak emosi pilunya mengingat tentang sang papa. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa untuk menghiburnya, ia hanya bisa memberikan pelukan untuk tempatnya bersandar.

19


Manda berdiri di depan pintu kamarnya sendiri sejak sepuluh menit yang lalu, ia ragu untuk mengetuk pintu lantaran takut menganggu seseorang yang tengah beristirahat di dalam sana. Namun, mau tak mau ia harus mengatakan perihal pesan yang disampaikan oleh pihak terkait mengenai seseorang yang kini masih tak bersuara di dalam kamar.

Gadis itu memantapkan dirinya mengetuk pintu, semula saat Manda mengetuk tidak ada respon, namun saat ketukan kedua suara baritone itu terdengar.

Membuat Manda membuka pintu tersebut dengan celah kecil seraya dirinya mengintip.

“Emm Abijay, sorry banget gue ganggu waktu istirahat lo, ini boleh masuk ga?”

Mendengar itu, Abijay yang sedari tadi hanya berbaring segera membenarkan posisinya, ia kini menyandar pada headboard ranjang.

“Masuk aja kali.”

Setelah dipersilakan, gadis itu berjalan dengan canggung lalu ia duduk di kursi yang ada di samping ranjang.

“Anu.. itu.. emm staff ZeroMiles katanya mau kesini buat jemput lo.”

Abijay sedikit terkekeh kala mendengar penuturan Manda.

“Lo gugup ya ngomong sama gue?” Tanya lelaki itu.

Tidak seperti yang dibayangkan friend, ternyata gue gugup banget anying depan Abijay.

Manda merutuk dalam hati.

“Hehe, yakali kan gue baru ketemu sama lo. Apalagi lo itu member ZeroMiles, favorit gue tuh hehe.”

“Santai aja sama gue, eh lo seriusan Miles?” Abijay memastikan.

“Lo juga bisa liat sendiri kan, kamar gue isinya penuh apaan.”

“Ah, oke oke.” Abijay memperhatikan satu per satu poster yang terpasang memenuhi satu sudut kamar milik gadis disampingnya kini.

“Oh iya, barusan lo bilang apa? Staff mau jemput gue?”

“Ah, iya barusan gue dapet dm. Kayaknya ntar tengah malem sih baru sampe kalo sekarang mereka baru berangkat.” Jelas Manda.

“Lo hubungin staff gue ada di rumah lo?”

“Engga bukan gitu, tadi tuh gue sempet ngetwit kalo gue liat lo dan tau nya akun gue rame pada ngetag jadi gue dapet dm deh mastiin bener atau engga kalo gue liat lo.”

“Oh.” Abijay mengangguk.

“Tapi gue penasaran, ini ngapain staff sampe dm gue segala. Emangnya lo ga bisa dihubungi atau lo sendiri yang ngasih tau mereka lo ada dimana gitu?”

Handphone gue mati.”

Jawaban Abijay membuat Manda menghela nafas kasar.

“Kenapa lo ga minta charge aja sih, kan disini ada listrik kali.”

“Ya lupa.”

“Hadeuh dasar, Abijay.”

“Kalo gitu gue boleh ga pinjem chargernya?” Abijay mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya.

Manda membalikan tubuhnya, ia membuka nakas yang berada disamping kasur lalu mengambil benda berwarna putih lalu memberikannya pada Abijay.

“Powerbank aja deh, nih.”

“Ah, okay thanks.

“Lo dari tadi ga ada kepikiran buat kabarin orang-orang atau gimana deh?” Tanya Manda terheran.

“Kan gue bilang lupa.”

“Abijay, serius. Lo itu nyasar kesana kemari sampe ilang, dicariin orang banyak masa lupa?”

“Yang penting sekarang gue udah ketemu sama lo dan dibantuin bilang ke staff kan? Clear udah.” Jawab lelaki itu acuh.

“Si anjir.”

“Oh anjing.”

Abijay menatap Manda.

“Lo ngatain gue, Abijay? Gak salah denger kan gue?” Manda menatap Abijay dengan tatapan tak percaya.

“Bukan, duh sorry maksud gue tuh anjing tadi gue masih kepikiran dia perginya kemana.”

8


Arloji yang terpakai di tangan Manda menunjukan pukul delapan malam, ia saat ini tengah melajukan mobilnya dengan pelan kala melewati daerah perkebunan teh yang amat luas.

Ia sengaja berkemudi dengan pelan agar tidak menabrak makhluk hidup yang sering menyebrang dengan tiba-tiba, saat ada kendaraan yang tengah melaju dengan kecepatan kencang.

Perkebunan teh itu nampak sepi, hanya beberapa lampu dengan jarak yang terpaut jauh menerangi jalanan. Sebenarnya Manda merasa takut akan suasana yang amat sunyi itu, apalagi daerah pedesaan yang masih sepi seperti ini rawan akan hal mistis ataupun bukan.

Tetapi ia bukan takut akan hal mistis tak kasat mata, melainkan ia takut akan manusia. Karena manusia dapat melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

“Wah anjir gue berangkat kenapa sore amat sih, merinding serius.”

Ia berbicara pada dirinya sendiri mencoba untuk tetap tenang, sampai ia melihat tikungan dengan lampu redup mendapati sosok dengan perawakan seperti seorang pria tengah menunduk.

Sesaat laju mobilnya berhenti, perasaan takutnya kian menjadi. Ia mulai membayangkan bagaimana jika ia berada dalam posisi bahaya, namun semua sirna kala sosok itu mendongakan kepalanya lalu memalingkan wajah menatap dirinya dibalik kemudi mobil.

270


Pagi yang tenang di kediaman Jeffry dan Disya, membuat keduanya larut akan aktivitas masing-masing. Disya dengan acara berbenah merapikan kamar serta Jeffry yang terlihat fokus tengah berkutat dengan laptop memeriksa beberapa emailnya.

“Jeff aku belum nemu bra aku semalem ih, kamu lempar kemana sih?” Gerutu Disya seraya mencari-cari.

“Gak tau, lupa.” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

“Kamu tuh kebiasaan deh, main lempar-lempar aja daleman aku. Tapi anehnya selalu bra aku yang terakhir ketemu, itu juga perjuangan sehari dua hari nyarinya.”

“Yaudah mulai nanti malem gak usah pake bra aja, biar ga aku lempar.” Ujarnya acuh.

“SINTING!”

“Memudahkan aku.”

“GAK WARAS BENERAN!”

Jeffry tak menanggapi Disya, ia kembali berkutat dengan pekerjaannya bahkan saat hari libur.

“Cariin cepet, aku mau nyuci.”

“Cari sendiri aja bisa kan?”

“MANA GUE TAU KAN LO YANG LEMPAR?”

“Itu kan barang punya kamu.”

“Okay, gak akan gue kasih jatah kedepannya titik.” Sahut Disya seraya melenggangkan kakinya keluar kamar.

Mendengar hal itu, Jeffry spontan menutup laptopnya kemudian berlari menghampiri meja rias milik istrinya. Ia berjongkok dengan tangannya menggapai sesuatu di bawah sana, setelah menemukannya dengan cepat Jeffry menghampiri Disya yang memang kini tengah memilah pakaian yang akan ia cuci.

“Nih.” Jeffry memberikan benda tersebut pada Disya.

“Ketemu dimana ini?” Tanya Disya ketus.

“Bawah meja rias kamu.”

“Bukan ngambil dari lemari?”

“Engga lah, orang ancaman kamu gak main-main masa iya aku boong.”

“Dasar cowok.”

Jeffry terkekeh.

“Udah jangan ngambek lagi.”

Jeffry beberapa kali mengecup pipi Disya, hingga perempuan itu menjauhkan dirinya.

“Dah sono kerja lagi.” Disya memberi isyarat mengibaskan tangannya.

“Tapi aku engga digaji.”

“Ya terus ngapain segala ngecek email kerjaan?”

“Takut ada laporan urgent aja.”

“Gak jelas banget sumpah, mending kamu beresin meja kerja kamu gih daripada gabut. Aku males beresin, soalnya takut ada yang penting nanti keselip atau ilang kan berabe.”

“Iya iya.”

“Abis itu kita belanja ya, kulkas kosong nih.”

“Iya.”

267


Setelah menikmati Sushi Tei yang dibawakan oleh Julian, kini Disya, Jeffry serta Julian sedang bersantai dengan menonton sebuah program musik. Disya merebahkan dirinya pada karpet, sedangkan Julian dan Jeffry mereka duduk dengan menyandarkan punggungnya pada sofa.

“Jul, mau ngomong apaan deh, tumbenan banget soalnya.” Suara Disya memecahkan keheningan sela jeda iklan.

Julian masih terdiam, Jeffry yang berada di sebelahnya pun kini memperhatikan temannya.

“Gue resign.” Ujarnya.

“Lah apaan, lo resign mau ngapain?” Balas Disya.

“Ya emang kenapa?”

“Ya gapapa sih, tapi gue percaya lo gak akan resign akhir-akhir ini sih.”

“Gue udah kasih surat resignnya kali.”

“Dih, apaan boong banget lo.”

“Tanya aja bang Kavin.”

Disya terhenyak.

“Apaan ah gak lucu becandaan lo, Jul.”

“Siapa yang becanda, orang besok aja gue udah kaga masuk.”

“BANG KAVIN KAGA ADA BILANG SAMA GUE LO RESIGN JULIAN?”

“Yeu, lupa kali.”

“Engga, gak bisa pokoknya. Lo langkahin dulu mayat gue baru lo bisa resign.”

Julian bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Disya, ia memperhatikan sahabat perempuannya itu sesaat lalu ia melangkah tepat di atas tubuh Disya. Membuat sang empu dan Jeffry yang sedari tadi diam kini tertegun.

“ANYING JULIAN GUE MASIH IDUP BENERAN LO LANGKAHIN? SETAN BENER SI LO!”

“Tanda bukti kalo gue beneran resign, lo percaya. Udah kan? Clear.

Jeffry hanya tertawa melihat dua orang yang berada di depannya.

“Jul, lo resign bukan karena gak nyaman kerja sama mantan lo, kan?” Telisik Disya.

“Salah satunya itu.”

“Etdah, kaga profesional betul.”

“Halah, bisa aja lo ngatain gue sekarang. Lo sama bang Wilfan dulu gimana kelakuan di kantor, tau ya gue.”

Disya dengan cepat melirik Jeffry setelah Julian berkata seperti itu padanya.

“Emang.. emang gue gimana?”

“Ngapain lo gelagapan, Oneng?” Julian menepuk jidat Disya.

“Lo ngapain maksudnya bilang begitu sama gue?”

Julian menghembuskan nafas kasarnya, lalu ia duduk kembali di samping Jeffry.

“Lo resign punya planning apa Jul?” Jeffry bertanya serius.

“Disuruh ambil alih mall yang di deket rumah si Disya.”

“Lah? Mall yang waktu itu lo sebut warisan dari kakek lo?” Disya kini memosisikan diri untuk duduk menghadap Julian.

“Iye.”

“I don't even know Julian punya mall.” Ucap Jeffry.

“Tau gak, aku kira si Jul ngibul aja dulu bilang begitu, eh ternyata bajingan lu ngapain kerja jadi animator?” Disya bergantian menatap Jeffry dan Julian.

“Sayang hobi gue tidak tersalurkan.”

“Sinting, tapi Jul. Ini serius nanya, lo ambil mall ini murni kemauan lo atau emang menghindar dari Mega?”

“Lo kan udah tau jawabannya.”

“Iye paham, tapi dia tau ga soal lo yang mall ini I mean lo resign?”

Julian menggelengkan kepalanya.

“Kampret, tapi Jul. Mending lo kasih tau dia deh, kan lo berdua udahan juga dengan baik-baik. Dengan lo ngasih tau dia mau ninggalin studio, itu berarti lo masih menganggap kehadiran dia. That's mean a lot for her, beda cerita kalo kalian emang udah gak mau tau satu sama lain.”

256


Jeffry menoleh ketika pintu apartemen terbuka, menampakan sosok wanita yang sedari tadi ia tunggu kepulangannya. Lelaki itu segera menghampiri Disya lalu merengkuh sekejap tubuh penat sang wanitanya.

“Dianter siapa?” Tanya Jeffry segera.

“Kak Kavin, Julian tadi kan gak ikut lembur jadi aku minta dia aja yang nganterin, sekalian soalnya searah.” Jelas Disya dengan malas.

“Beneran?”

“Iyalah, kalo minta kak Wilfan nanti kamu marah.” Disya mendelik Jeffry, sedangkan lelaki itu mengangguk memberi respon.

“Yaudah, mandi dulu gih. Aku angetin dulu makanannya, biar nanti kamu langsung istirahat.”

“Oke.”

Disya melenggang menuju kamar meninggalkan Jeffry, sementara ia kini berjalan menuju dapur untuk melakukam tugasnya. Menghangatkan manakan yang ia beli saat diperjalanan.

Saat meraih kantung makanan itu, ponsel Jeffry berdering. Ketika ia melihat siapa yang meneleponnya ia sedikit terheran, namun dengan segera ia menjawabnya.

“Ngapa, Yud?”

“Lo dimana?”

“Rumah.”

“Apart Diaz, sekarang.”

“Lo.. disana lagi?”

“Ya ini cewe manggil gue mana sambil nangis yakali gue kaga gubris?”

Jeffry memejamkan matanya kala mendengar Yudha berkata demikian.

“Gue kaga ngarti sumpah, dia punya manager tapi ngapain nelpon gue sih? Atau pacarnya kek, lah gue?”

“Kali ini dia nangis kenapa?”

“Kaga tau, tapi gue liat dia pegang foto kek hasil usg gitu tadi.”

“Anjing, Yud. Gue sekarang kesana.”

Jeffry mematikan sambungan telponnya dengan cepat, ia harus segera pergi menuju apartemen sepupunya saat ini. Namun sebelum pergi, Jeffry dengan tergesa mengambil wadah makanan yang ia temukan di dekatnya untuk menghangatkan makanan kedalam microwave.

Bahkan tanpa pamit pada Disya, ia segera berlari meninggalkan rumahnya.

249


Disya menutup pintu kamar mandi dengan canggung, ia entah mengapa merasa demikian setelah melihat Jeffry sedang berbaring di tempat tidur dengan ponsel di tangannya. Lelaki itu sejak tadi sore tidak mengeluarkan sepatah katapun padanya, ia berpikir jika Jeffry marah padanya akan perbincangan dipesan tadi pagi.

Ia mengakui jika itu memang salahnya seperti yang ia katakan pada Jeffry, ia juga membenarkan jika beberapa kesalahpahaman terjadi diantara mereka disebabkan olehnya yang terburu-buru menyimpulkan sesuatu.

Perempuan itu kini ikut membaringkan tubuhnya tepat di samping Jeffry yang masih terfokus pada benda digital di tangannya, ia memosisikan tubuhnya kesamping menghadap Jeffry.

“Jeff.”

“Hm.”

Lelaki itu menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

“Sibuk?”

“Engga.”

“Aku mau ngomong, tolong dengerin.” Pinta Disya dengan mengusap pelan lengan Jeffry.

Lelaki itu kemudian meletakkan ponselnya pada nakas samping tempat tidur lalu memiringkan tubuhnya menghadap Disya.

“Aku tau kamu marah sama aku gara-gara aku bilang nyesel sama Julian tentang kamu, tapi tolong jangan salah paham.”

Jeffry yang memperhatikan mengangguk pelan.

“Kamu paham betul kan alasan kita menikah kenapa?”

“Kesalah pahaman warga.” Sahut Jeffry.

“Dan Papa ngasih waktu buat kita saling kenal satu bulan, itu terlalu cepet banget. Mana mungkin aku bisa kenal kamu dalam waktu sesingkat itu? Kamu juga pasti ngerasa hal yang sama kan?”

“Iya.”

“Aku udah dua kali curiga sama kamu dan mikirin hal yang aneh-aneh saat nemuin sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu kamu, pertama Sera dan kedua Jinan. Aku sama sekali engga tau tentang dua orang itu, dan kamu pun sama sekali engga ada cerita sama aku. Dan aku harusnya orang pertama yang aku tanyain adalah kamu, tapi aku terlalu gengsi Jeff.”

“Makanya, aku dari awal udah bilang. Kalo ada apa-apa tanya aku, aku pasti jawab. Aku gak akan sembunyiin apapun dari kamu, saling berbagi satu sama lain.”

“Tapi kamu gak pernah cerita tentang diri kamu sendiri Jeff, gak ada. Kalo aku tanya kamu baru bilang, kalo aku gak tanya mana pernah kamu cerita. Padahal aku sering banget cerita bahkan hal sekecil apapun kayaknya aku bilang kamu. Barusan aja kamu bilang saling berbagi, tapi kamu sendiri mana?”

“Iya maaf, lagian aku gak tau kalo kamu tiba-tiba periksa hpku terus nemu foto lama.”

“Terniat banget masih disimpen itu foto.” Disya mendengus, lalu ia membenarkan posisinya. Kini ia terlentang, menatap atap kamar yang masih terang oleh cahaya lampu.

“Cemburu nih?” Jeffry mendekat, ia menaruh dagunya tepat pada bahu Disya.

“Cemburu apaan, gak jelas.”

“Masa?” Kini lengan Jeffry menarik lengan Disya kemudian menautkan jemari mereka.

“Lepasin.” Perempuan itu mencoba menarik tangannya.

“Kamu beneran cemburu sama Jinan?”

Disya mendelik.

“Cemburu apa? Aku tuh iri tau gak, iri.”

“Loh, kok iri?”

“Iya, di foto itu tuh kalian keliatan banget punya chemistry mana lucu banget.”

“Lah, namanya juga orang pacaran masa gak ada chemistry?”

“Nah itu diaaa Jeffry, kamu suami aku tapi aku tuh kayak gak pernah liat kamu langsung bersikap manis se-lucu itu.”

Jeffry terkekeh mendengar penuturan Disya.

“Ya ampun, istrinya Jeffry ada-ada aja.” Lelaki itu masih terkekeh, lalu tangganya yang jahil mencubit pelan kedua pipi Disya beberapa kali hingga perempuan itu menepisnya.

“Ih sakit tau.” Disya menggerutu.

“Mana sakitnya mana?” Kini Jeffry mengecup pipi Disya berulang kali sampai istrinya itu merasa terganggu dan menjauhkan dirinya dari Jeffry.

“Ngapain sih?” Tanya Disya kesal.

“Katanya sakit, sini aku obatin.”

“Obatin dari man-”

cup

“Dah jangan ngomel mulu, jelek.”

Disya seketika terdiam saat bibir Jeffry mengecup bibirnya singkat.

Sementara Jeffry tersenyum simpul melihat Disya seperti itu akibat ulahnya kini mendekap tubuh perempuannya, mengecup kepalanya dengan hangat.

Merasa nyaman, kini Disya membalas dekapan Jeffry. Menutup matanya dan menelusupkan kepalanya pada dada bidang Jeffry, menghirup aroma tubuh Jeffry yang sekarang menjadi candu baginya.

Namun kegiatannya itu kini terhenti kala ia mengingat sesuatu.

“Oh iya Jeff, aku lupa.” Ia mendongak untuk menatap Jeffry.

“Kenapa?”

“Ituloh, masalah aku yang mau mundur dari project lupa terus aku mau bilang.”

“Oh, itu.”

“Kan kamu bilang katanya aku harus jauhin kak Wilfan, sementara aku kemana-mana sama dia mulu.”

Jeffry memejamkan matanya sekejap.

“Aku kemaren tanya kan, kalo kamu mundur konsekuensinya gimana?”

“Ya gak gimana-gimana, mungkin aku gak bakalan dapet posisi itu lagi untuk beberapa project kedepannya.”

“Kenapa?”

“Ya menurut kamu gimana? Masa iya yang udah nelantarin projectnya dikasih kepercayaan buat handle lagi, kan itu udah masuk gak bertanggung jawab dong.”

“Iya sih.”

“Jadi gimana nih? Resign aja gitu?”

“Heh, engga, gak usah resign aku tau kamu kerja dibidang itu karena hobi juga, aku gak akan larang. Cuma itu orang kenapa muncul lagi, mana kamu sama dia... untuk sekarang pokoknya jaga jarak aja sama dia. Jangan terlalu deket, cukup urusan kerja aja.”

“Kita udah gak ada apa-apa kali, sekarang kita temenan. Tapi dari dulu juga emang temenan sih, gak ada apa-apa.”

“Tadi waktu jemput kamu, aku gak liat orangnya. Kalo liat gak tau tuh, masih idup apa engga.”

“Heh! Ngaco deh, kan aku gak kenapa-napa.”

“Ya bukan kamu, tapi Diaz.”

“Oh iya, Diaz kemaren kenapa?”

“Diaz ketemu Wilfan, mungkin waktu ketemu dia biasa aja tapi setelah sampe apart dia nangis lagi. Untungnya engga kayak dulu.”

“Kayak dulu? Emang kenapa?”

“Diaz trauma, dan itu sering muncul kalo dia ketemu Wilfan. Ingatan dulu tentang Wilfan masih jelas dia inget, untung dia ditemenin Yudha jadi gak aneh aneh tuh anak.”

Diaz trauma? Ketemu kak Wilfan?

233


Saat Disya menapakkan kakinya di lantai rooftop semilir angin sore hari menyambutnya dengan asap rokok yang berhembus menyapa hidungnya, ia seketika menoleh dan mendapati satu orang yang berdiri tepat pada pagar pembatas.

Seorang lelaki dengan postur yang amat ia kenali tengah membelakanginya itu belum menyadari kehadirannya, Disya sesaat melihat kilas balik dalam ingatannya tentang lelaki itu. Seorang Wilfan Aditya Fajhira, lelaki yang sempat ia kagumi hingga ia sukai sebagai seorang pria semasa sekolah menengah.

Lelaki yang mempunyai kepribadian ramah, murah hati, pintar serta rupawan tentu saja dapat menarik perhatian perempuan di sekolahnya dahulu. Bahkan ia ingat, dahulu ketika ia mendaftar untuk mengikuti seleksi OSIS alasannya adalah seorang Wilfan yang begitu menarik perhatiannya.

Dan setelah mengenal Wilfan karena sering terlibat dalam banyak kegiatan, ia jatuh. Jatuh semakin dalam pada pesona lelaki itu, ia melibatkan banyak perasaan yang ditunjukan untuk Wilfan.

Lalu setelahnya ia mendapat perlakuan dan perhatian istimewa, yang membuatnya merasa jika lelaki itupun menaruh perasaan yang sama. Tentu ia senang kala mendapat balasan masalah hatinya itu, namun belum lama mereka saling mengenal, kabar Wilfan berkencan dengan teman baiknya itu terdengar.

Disya menggelengkan kepalanya, menepis semua ingatan pahit semasa sekolah yang muncul kembali dalam benaknya.

Ia kini memusatkan atensinya kembali pada Wilfan yang masih bergeming dengan sepuntung rokok di tangannya, ia harus membicarakan tentang perasaanya yang beberapa waktu lalu membuncah kembali saat Wilfan hadir lagi dalam kehidupannya yang baru.

Juga ia amat sangat penasaran akan hal yang masih mengganggu pikirannya tentang Diaz, yang Jeffry sampaikan hanyalah Wilfan membunuh buah hatinya sendiri.

Apakah benar jika Wilfan melakukan hal keji itu?

Ia sungguh tidak memercayai hal itu, mengingat dahulu Wilfan adalah lelaki baik hati yang tidak tega melihat kucing jalanan terluka.

Okay Disya, bukan saatnya lo mikirin hal itu. Cukup urusin urusan lo sama dia biar semuanya kelar. Stop terobsesi sama dia, benahi perasaan lo, sekarang lo punya perasaan yang harus dijaga.

Disya melangkahkan kaki setelah memantapkan tekadnya, kemudian ia berdiri tepat di samping Wilfan. Lelaki itu secara refleks membuang rokok dan meninginjaknya setelah mendapati kehadiran Disya. Karena lelaki itu tahu, jika Disya tidak suka akan asap rokok.

“Maaf, lo pasti nunggu lama.” Ujar Disya.

“Engga.”

Keduanya memandang perkotaan yang mulai dipadati oleh orang-orang yang hendak pulang dari pekernyaan mereka, ditemani semilir angin yang masih berhembus di ketinggian gedung.

“Gue barusan ketemu Diaz.” Wilfan mulai berbicara tanpa menoleh pada Disya.

“Gue seneng, akhirnya dia ketemu sama orang yang bakal jaga dia dengan lebih baik.” Disya mengerutkan alisnya ketika mendengar perkataan Wilfan.

“Cowok itu bakalan kasih Diaz kebahagiaan bukan penderitaan yang sempet gue torehkan.” Disya melihat jelas Wilfan tersenyum pahit.

“Lo pasti udah tau dari Jeffry kan?” Wilfan kini menoleh pada Disya.

“Tau apa?”

“Lo mau pura-pura atau emang engga tau tentang gue sama Diaz?”

“Aah itu, intinya gue tau. Tapi gue gak mau tau tentang permasalahan kalian itu apa, karena gue disini sekarang bukan mau bahas tentang kalian. Gue... mau memperjelas tentang gue.. dan lo, Kak.” Disya memalingkan wajahnya, ia entah mengapa merasa jika keberanian yang ia kumpulkan jatuh melompat dari atas gedung tempat ia berpijak.

Wilfan mengangguk, tanda ia mengerti kemana arah Disya akan berbicara.

“Lo udah nikah sama Jeffry dan lo mau memperjelas itu?”

“Kak, lo kalo udah ngerti berarti paham ya sekarang kita harus gimana? Maksudnya iya gue juga masih punya perasaan sama lo seperti kata gue waktu itu, tapi sekarang gue udah ada Jeffry. Dulu gue akui memang suka bahkan suka gue sampe ada ditahap obsesi sama lo, lo tau kenapa gue bisa bilang obsesi?”

Wilfan diam tak bersuara menunggu perempuan di hadapannya selesai menjelaskan.

“Karena dunia gue berputar di lo, Kak. Lo titik pusat kehidupan gue saat itu, tapi apa yang gue dapat? Dunia lo bukan berputar untuk gue. Gue.. sebesar rasa suka dan sayang gue sama lo dulu sampe gue gak bisa membuka hati gue untuk orang lain, karena yang gue inginkan cuma lo. Gue juga sempet nungguin kalo suatu saat kita bisa ketemu lagi, dan balik lagi. Bertahun-tahun gue berusaha buat lupain lo, tapi gue selalu gagal. Gue selalu inget lo dalam apapun yang gue lakuin. Sebesar itu pengaruh lo dalam hidup gue Kak, dan waktu Jeff datang gue sempet lupa sama lo. Tapi dengan kejamnya takdir permainin gue dengan kembali ketemu lo.”

“Maaf Sya, gue terlambat, gue sebenernya mau cari lo dan balik sama lo. Tapi keadaan gue belum pulih sepenuhnya dan masalah gue masih belum tuntas. Andai gue engga jadi anak penurut, mungkin gue dan lo engga akan kayak gini sekarang.”

“Tolong jangan berandai, gue gak mau hal itu karena kenyataan yang nanti bakal jadi tamparan.”

“Kayaknya sekarang giliran gue buat lupain lo ya, Sya?” Wilfan menatap Disya lekat.

“Padahal dunia gue sedari dulu berputar di lo, dan gak pernah berputar untuk orang lain. Tapi yaudah, mungkin ini cara penembusan dosa gue kali ya? Lupain lo.”

“Gue udah bisa lupain lo Kak, lo juga bakalan bisa lupain perasaan lo itu ke gue.”

233


Saat Disya menapakkan kakinya di lantai rooftop semilir angin sore hari menyambutnya dengan asap rokok yang berhembus menyapa hidungnya, ia seketika menoleh dan mendapati satu orang yang berdiri tepat pada pagar pembatas.

Seorang lelaki dengan postur yang amat ia kenali tengah membelakanginya itu belum menyadari kehadirannya, Disya sesaat melihat kilas balik dalam ingatannya tentang lelaki itu. Seorang Wilfan Aditya Fajhira, lelaki yang sempat ia kagumi hingga ia sukai sebagai seorang pria semasa sekolah menengah.

Lelaki yang mempunyai kepribadian ramah, murah hati, pintar serta rupawan tentu saja dapat menarik perhatian perempuan di sekolahnya dahulu. Bahkan ia ingat, dahulu ketika ia mendaftar untuk mengikuti seleksi OSIS alasannya adalah seorang Wilfan yang begitu menarik perhatiannya.

Dan setelah mengenal Wilfan karena sering terlibat dalam banyak kegiatan, ia jatuh. Jatuh semakin dalam pada pesona lelaki itu, ia melibatkan banyak perasaan yang ditunjukan untuk Wilfan.

Lalu setelahnya ia mendapat perlakuan dan perhatian istimewa, yang membuatnya merasa jika lelaki itupun menaruh perasaan yang sama. Tentu ia senang kala mendapat balasan masalah hatinya itu, namun belum lama mereka saling mengenal, kabar Wilfan berkencan dengan teman baiknya itu terdengar.

Disya menggelengkan kepalanya, menepis semua ingatan pahit semasa sekolah yang muncul kembali dalam benaknya.

Ia kini memusatkan atensinya kembali pada Wilfan yang masih bergeming dengan sepuntung rokok di tangannya, ia harus membicarakan tentang perasaanya yang beberapa waktu lalu membuncah kembali saat Wilfan hadir lagi dalam kehidupannya yang baru.

Juga ia amat sangat penasaran akan hal yang masih mengganggu pikirannya tentang Diaz, yang Jeffry sampaikan hanyalah Wilfan membunuh buah hatinya sendiri.

Apakah benar jika Wilfan melakukan hal keji itu?

Ia sungguh tidak memercayai hal itu, mengingat dahulu Wilfan adalah lelaki baik hati yang tidak tega melihat kucing jalanan terluka.

Okay Disya, bukan saatnya lo mikirin hal itu. Cukup urusin urusan lo sama dia biar semuanya kelar. Stop terobsesi sama dia, benahi perasaan lo, sekarang lo punya perasaan yang harus dijaga.

Disya melangkahkan kaki setelah memantapkan tekadnya, kemudian ia berdiri tepat di samping Wilfan. Lelaki itu secara refleks membuang rokok dan meninginjaknya setelah mendapati kehadiran Disya. Karena lelaki itu tahu, jika Disya tidak suka akan asap rokok.

“Maaf, lo pasti nunggu lama.” Ujar Disya.

“Engga.”

Keduanya memandang perkotaan yang mulai dipadati oleh orang-orang yang hendak pulang dari pekernyaan mereka, ditemani semilir angin yang masih berhembus di ketinggian gedung.

“Gue barusan ketemu Diaz.” Wilfan mulai berbicara tanpa menoleh pada Disya.

“Gue seneng, akhirnya dia ketemu sama orang yang bakal jaga dia dengan lebih baik.” Disya mengerutkan alisnya ketika mendengar perkataan Wilfan.

“Cowok itu bakalan kasih Diaz kebahagiaan bukan penderitaan yang sempet gue torehkan.” Disya melihat jelas Wilfan tersenyum pahit.

“Lo pasti udah tau dari Jeffry kan?” Wilfan kini menoleh pada Disya.

“Tau apa?”

“Lo mau pura-pura atau emang engga tau tentang gue sama Diaz?”

“Aah itu, intinya gue tau. Tapi gue gak mau tau tentang permasalahan kalian itu apa, karena gue disini sekarang bukan mau bahas tentang kalian. Gue... mau memperjelas tentang gue.. dan lo, Kak.” Disya memalingkan wajahnya, ia entah mengapa merasa jika keberanian yang ia kumpulkan jatuh melompat dari atas gedung tempat ia berpijak.

Wilfan mengangguk, tanda ia mengerti kemana arah Disya akan berbicara.

“Lo udah nikah sama Jeffry dan lo mau memperjelas itu?”

“Kak, lo kalo udah ngerti berarti paham ya sekarang kita harus gimana? Maksudnya iya gue juga masih punya perasaan sama lo seperti kata gue waktu itu, tapi sekarang gue udah ada Jeffry. Dulu gue akui memang suka bahkan suka gue sampe ada ditahap obsesi sama lo, lo tau kenapa gue bisa bilang obsesi?”

Wilfan diam tak bersuara menunggu perempuan di hadapannya selesai menjelaskan.

“Karena dunia gue berputar di lo, Kak. Lo titik pusat kehidupan gue saat itu, tapi apa yang gue dapat? Dunia lo bukan berputar untuk gue. Gue.. sebesar rasa suka dan sayang gue sama lo dulu sampe gue gak bisa membuka hati gue untuk orang lain, karena yang gue inginkan cuma lo. Gue juga sempet nungguin kalo suatu saat kita bisa ketemu lagi, dan balik lagi. Bertahun-tahun gue berusaha buat lupain lo, tapi gue selalu gagal. Gue selalu inget lo dalam apapun yang gue lakuin. Sebesar itu pengaruh lo dalam hidup gue Kak, dan waktu Jeff datang gue sempet lupa sama lo. Tapi dengan kejamnya takdir permainin gue dengan kembali ketemu lo.”

“Maaf Sya, gue terlambat, gue sebenernya mau cari lo dan balik sama lo. Tapi keadaan gue belum pulih sepenuhnya dan masalah gue masih belum tuntas. Andai gue engga jadi anak penurut, mungkin gue dan lo engga akan kayak gini sekarang.”

“Tolong jangan berandai, gue gak mau hal itu karena kenyataan yang nanti bakal jadi tamparan.”

“Kayaknya sekarang giliran gue buat lupain lo ya, Sya?” Wilfan menatap Disya lekat.

“Padahal dunia gue sedari dulu berputar di lo, dan gak pernah berputar untuk orang lain. Tapi yaudah, mungkin ini cara penembusan dosa gue kali ya? Lupain lo.”

“Gue udah bisa lupain lo Kak, lo juga bakalan bisa lupain perasaan lo itu ke gue.”