206.
Anna tengah duduk di kursi balkon menikmati semilir angin malam hari yang menerpa tubuhnya, ia memperhatikan luasnya rumah Arez serta kawasan perumahan yang begitu tenang.
Ia bahkan sampai tidak menyadari jika kursi yang berada di sebelahnya telah diisi oleh kehadiran Arez, pria itu memberikan secangkir teh pada Anna.
“Liatin apa?” Tanya Arez seraya menyesap tehnya.
“Eh.” Arez tersenyum tipis mendapat respon Anna yang terkejut akan kehadirannya.
“Ngelamun?”
“Saya baru kali ini diem di sini, ternyata suasananya enak juga ya. Cocok banget buat tenangin pikiran kalo lagi mumet, soalnya jarak antar penghuni perumahannya gak deket terus ya tentram gitu.”
“Memangnya berbeda dengan di rumah kamu?”
“Wah, jangan disamain. Ini kalo di rumah saya jam sepuluh malem tuh bukannya istirahat atau mulai matiin tv siap mau tidur, malah karaoke terus suaranya tuh kenceng banget. Ganggu orang kayak saya yang capek abis kerja butuh istirahat tuh malah bikin saya emosi, mau saya datengin tapi saya gak punya tenaga buat marah-marah juga.”
“Gak punya tenaga atau memang gak berani?” Pertanyaan Arez membuat Anna mendelik.
“Dua-duanya sih, tapi ya harusnya mereka mikir gak sih malem tuh waktunya buat istirahat. Bukan malah karaokean, kalo mau ya pergi ketempatnya, bukan di rumah apalagi perumahan padat penduduk gitu kan gak sedikit juga yang punya anak-anak bahkan balita.”
“Apa warga sana gak ada yang negur?”
“Ada, hari ini ditegur besoknya diem hari berikutnya berisik lagi. Gitu aja terus sampe warga di sana tuh udah bosen negurnya.”
Arez hanya menggangguk sebagai respon, kini ia mengikuti Anna yang tengah memperhatikan langit yang nampak kelabu.
“Kabar bunda sama ayah gimana?” Tanya Arez.
“Baik-baik aja, bunda kemaren ada chat kok.” Anna menyesap teh pemberian Arez tadi.
“Oh iya, saya masih malu sama kejadian yang ngaku-ngaku saya punya adek.” Anna tertawa diikuti Arez.
“Supaya apa kamu bohong sama saya ngaku punya adik?”
“Ya kan waktu itu kaget bukan main dong disuruh bayar cicilan setahun, saya kan punya kebutuhan yang lain juga waktu itu, mana bunda masih harus rajin check up. Kalo saya sanggupin bayar setahun, minion saya gak ada isinya.”
“Minion?”
“Ah, celengan maksudnya.”
“Kan bank ada, masa masih pakai celengan?”
“Ya memang ditabung di bank juga sih, minion isinya cuma recehan aja.”
Arez menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Anna tentang celengannya itu.
“Seno sepupu kamu satu satunya?”
“Heem, tapi itu dari pihak bunda. Kalo dari ayah, saya gak punya sepupu karena ayah anak tunggal.”
“Ah, saya jadi ngerti kalo Seno protektif sama kamu sekarang itu karena apa.”
“Iya tapi nyebelin sumpah, mana saya orangnya emosian Kak. Cuma kadang saya juga inget kalo Seno tuh memang sesayang itu sama saya, tapi ngajak ribut mulu gitu. Mungkin kesepian aja kali, sepupu dia dari pihak ayahnya juga cowo semua, oh iya Seno sebenernya dulu punya adik tapi sakit parah dan ya.. dia gak berhasil lawan penyakitnya. Perempuan dan seumuran sama saya juga.”
“Oh ya? Saya baru tahu Seno punya adik, dulu juga Seno setau saya anak tunggal.”
“Engga, itu kayaknya waktu kak Oza pindah udah setahun keluarga kita kehilangan adeknya Seno.”
“Ah.”
“Oh iya, aku waktu kemaren dikasih tau kalo kak Oza sama Kak Arez adek kakak tuh kaget banget. Sumpah gak nyangka sama sekali, diliat dari kemiripan nol besar, dari sikap kalian di kantor juga gak ada miripnya. Interaksi kalian biasa aja kayak seperlunya banget, gak mencerminkan layaknya sodara apalagi satu rumah.”
“Itu kemauan Wira, dia udah janji sama Papa dulu kalo dia gak mau langsung duduk di atas punya jabatan. Dia mau belajar dari bawah, merahasiakan identitas dan Papa bilang boleh.”
Anna terdiam sesaat, memperhatikan Arez yang terlihat menimbang sesuatu untuk dikatakan padanya.
“Saya juga ingin seperti Wira, bisa memahami pekerjaan dari persepektif bagian-bagian karyawan bagaimana. Tapi saya baru satu bulan magang di kantor cabang Singapore, Papa meninggal dan terpaksa saya menggantikan posisi Papa di sini.”
Anna semakin terdiam, ia tidak menyangka jika Arez akan menyinggung tentang papanya yang sudah beberapa tahun meninggal. Anna tahu, jika Arez sebenarnya masih belum bisa sepenuhnya melupakan kejadian pilu itu. Wira memberi tahu, jika keluarga mereka membicarakan kenangan tentang sang papa, Arez akan menangis.
Anna perlahan menggenggam tangan Arez yang menangkup cangkir teh di meja, melihat sekilas Arez yang tengah berusaha mengontrol diri dengan memejamkan matanya.
“Masuk yuk, anginnya makin kenceng.” Anna meraih lengan Arez.
Pria itu bangkit lalu mengikuti langkah Anna, dengan erat menggenggam tangan perempuannya.
Anna mendudukan Arez di ranjang, kemudian ia melepaskan genggaman tangan Arez. Ia kembali melangkah untuk menutup pintu balkon, setelah itu ia kembali, berdiri di hadapan Arez yang duduk terdiam.
“Mau peluk?” Tawar Anna.
Arez mendongakkan kepalanya melihat Anna.
“Mau gak? Ini kalo gak mau, nanti tidur jangan peluk saya.”
Tanpa mengatakan jawaban, Arez dengan segera memeluk Anna. Ia membenamkan wajahnya tepat di perut istrinya dengan erat.
Anna tahu, jika saat ini Arez tengah menahan gejolak emosi pilunya mengingat tentang sang papa. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa untuk menghiburnya, ia hanya bisa memberikan pelukan untuk tempatnya bersandar.