249


Disya menutup pintu kamar mandi dengan canggung, ia entah mengapa merasa demikian setelah melihat Jeffry sedang berbaring di tempat tidur dengan ponsel di tangannya. Lelaki itu sejak tadi sore tidak mengeluarkan sepatah katapun padanya, ia berpikir jika Jeffry marah padanya akan perbincangan dipesan tadi pagi.

Ia mengakui jika itu memang salahnya seperti yang ia katakan pada Jeffry, ia juga membenarkan jika beberapa kesalahpahaman terjadi diantara mereka disebabkan olehnya yang terburu-buru menyimpulkan sesuatu.

Perempuan itu kini ikut membaringkan tubuhnya tepat di samping Jeffry yang masih terfokus pada benda digital di tangannya, ia memosisikan tubuhnya kesamping menghadap Jeffry.

“Jeff.”

“Hm.”

Lelaki itu menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

“Sibuk?”

“Engga.”

“Aku mau ngomong, tolong dengerin.” Pinta Disya dengan mengusap pelan lengan Jeffry.

Lelaki itu kemudian meletakkan ponselnya pada nakas samping tempat tidur lalu memiringkan tubuhnya menghadap Disya.

“Aku tau kamu marah sama aku gara-gara aku bilang nyesel sama Julian tentang kamu, tapi tolong jangan salah paham.”

Jeffry yang memperhatikan mengangguk pelan.

“Kamu paham betul kan alasan kita menikah kenapa?”

“Kesalah pahaman warga.” Sahut Jeffry.

“Dan Papa ngasih waktu buat kita saling kenal satu bulan, itu terlalu cepet banget. Mana mungkin aku bisa kenal kamu dalam waktu sesingkat itu? Kamu juga pasti ngerasa hal yang sama kan?”

“Iya.”

“Aku udah dua kali curiga sama kamu dan mikirin hal yang aneh-aneh saat nemuin sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu kamu, pertama Sera dan kedua Jinan. Aku sama sekali engga tau tentang dua orang itu, dan kamu pun sama sekali engga ada cerita sama aku. Dan aku harusnya orang pertama yang aku tanyain adalah kamu, tapi aku terlalu gengsi Jeff.”

“Makanya, aku dari awal udah bilang. Kalo ada apa-apa tanya aku, aku pasti jawab. Aku gak akan sembunyiin apapun dari kamu, saling berbagi satu sama lain.”

“Tapi kamu gak pernah cerita tentang diri kamu sendiri Jeff, gak ada. Kalo aku tanya kamu baru bilang, kalo aku gak tanya mana pernah kamu cerita. Padahal aku sering banget cerita bahkan hal sekecil apapun kayaknya aku bilang kamu. Barusan aja kamu bilang saling berbagi, tapi kamu sendiri mana?”

“Iya maaf, lagian aku gak tau kalo kamu tiba-tiba periksa hpku terus nemu foto lama.”

“Terniat banget masih disimpen itu foto.” Disya mendengus, lalu ia membenarkan posisinya. Kini ia terlentang, menatap atap kamar yang masih terang oleh cahaya lampu.

“Cemburu nih?” Jeffry mendekat, ia menaruh dagunya tepat pada bahu Disya.

“Cemburu apaan, gak jelas.”

“Masa?” Kini lengan Jeffry menarik lengan Disya kemudian menautkan jemari mereka.

“Lepasin.” Perempuan itu mencoba menarik tangannya.

“Kamu beneran cemburu sama Jinan?”

Disya mendelik.

“Cemburu apa? Aku tuh iri tau gak, iri.”

“Loh, kok iri?”

“Iya, di foto itu tuh kalian keliatan banget punya chemistry mana lucu banget.”

“Lah, namanya juga orang pacaran masa gak ada chemistry?”

“Nah itu diaaa Jeffry, kamu suami aku tapi aku tuh kayak gak pernah liat kamu langsung bersikap manis se-lucu itu.”

Jeffry terkekeh mendengar penuturan Disya.

“Ya ampun, istrinya Jeffry ada-ada aja.” Lelaki itu masih terkekeh, lalu tangganya yang jahil mencubit pelan kedua pipi Disya beberapa kali hingga perempuan itu menepisnya.

“Ih sakit tau.” Disya menggerutu.

“Mana sakitnya mana?” Kini Jeffry mengecup pipi Disya berulang kali sampai istrinya itu merasa terganggu dan menjauhkan dirinya dari Jeffry.

“Ngapain sih?” Tanya Disya kesal.

“Katanya sakit, sini aku obatin.”

“Obatin dari man-”

cup

“Dah jangan ngomel mulu, jelek.”

Disya seketika terdiam saat bibir Jeffry mengecup bibirnya singkat.

Sementara Jeffry tersenyum simpul melihat Disya seperti itu akibat ulahnya kini mendekap tubuh perempuannya, mengecup kepalanya dengan hangat.

Merasa nyaman, kini Disya membalas dekapan Jeffry. Menutup matanya dan menelusupkan kepalanya pada dada bidang Jeffry, menghirup aroma tubuh Jeffry yang sekarang menjadi candu baginya.

Namun kegiatannya itu kini terhenti kala ia mengingat sesuatu.

“Oh iya Jeff, aku lupa.” Ia mendongak untuk menatap Jeffry.

“Kenapa?”

“Ituloh, masalah aku yang mau mundur dari project lupa terus aku mau bilang.”

“Oh, itu.”

“Kan kamu bilang katanya aku harus jauhin kak Wilfan, sementara aku kemana-mana sama dia mulu.”

Jeffry memejamkan matanya sekejap.

“Aku kemaren tanya kan, kalo kamu mundur konsekuensinya gimana?”

“Ya gak gimana-gimana, mungkin aku gak bakalan dapet posisi itu lagi untuk beberapa project kedepannya.”

“Kenapa?”

“Ya menurut kamu gimana? Masa iya yang udah nelantarin projectnya dikasih kepercayaan buat handle lagi, kan itu udah masuk gak bertanggung jawab dong.”

“Iya sih.”

“Jadi gimana nih? Resign aja gitu?”

“Heh, engga, gak usah resign aku tau kamu kerja dibidang itu karena hobi juga, aku gak akan larang. Cuma itu orang kenapa muncul lagi, mana kamu sama dia... untuk sekarang pokoknya jaga jarak aja sama dia. Jangan terlalu deket, cukup urusan kerja aja.”

“Kita udah gak ada apa-apa kali, sekarang kita temenan. Tapi dari dulu juga emang temenan sih, gak ada apa-apa.”

“Tadi waktu jemput kamu, aku gak liat orangnya. Kalo liat gak tau tuh, masih idup apa engga.”

“Heh! Ngaco deh, kan aku gak kenapa-napa.”

“Ya bukan kamu, tapi Diaz.”

“Oh iya, Diaz kemaren kenapa?”

“Diaz ketemu Wilfan, mungkin waktu ketemu dia biasa aja tapi setelah sampe apart dia nangis lagi. Untungnya engga kayak dulu.”

“Kayak dulu? Emang kenapa?”

“Diaz trauma, dan itu sering muncul kalo dia ketemu Wilfan. Ingatan dulu tentang Wilfan masih jelas dia inget, untung dia ditemenin Yudha jadi gak aneh aneh tuh anak.”

Diaz trauma? Ketemu kak Wilfan?