llilacunay


Hendak mematikan lampu tidurnya, Bianca melihat Sean membuka pintu dengan kue dan dua buah balon yang berwarna senada dengan kue itu.

Happy birthday Bianca Tamaran.”

Sean duduk di samping Bianca yang sedang terdiam dengan wajah dan tatapan tak percaya, ia sama sekali tak menyangka jika Sean akan memberikan kue dan ucapan selamat ulang tahun untuknya.

“Pegang dulu bentar.” Sean menyerahkan kuenya kepada Bianca, kemudia lelaki itu keluar kamar lalu kembali dengan dua gelas sirup berwarna hijau seperti kue di tangannya.

“Sean, Thanks.” Ucap Bianca dengan seulas senyum tulusnya.

Lelaki itu menggelengkan pelan kepalanya seraya tersenyum tipis.

“No, gue minta maaf I would like to celebrate your birthday early but I have something to do.”

“Sean lo tau ga? Gue sama sekali ga berharap lebih apalagi dapet ucapan selamat ulang tahun dari lo karena kesepakatan kita itu yang hidup masing masing, tapi gue amat sangat berterima kasih lo inget bahkan kasih gue hal kecil yang bikin gue seneng banget.” Jelas Bianca dengan kekehannya.

“Lo seneng liat balon?” Sean mengerutkan dahinya.

“Bukan, tapi ini.” Bianca menunjuk krim yang bertuliskan angka dua puluh lima yang berada di atas kue itu.

Sean tidak mengerti dengan apa yang Bianca tunjuk, kue? Bukankah wanita di hadapannya ini sudah mendapatkan satu atau dua kue di hari miliknya ini?

“Sumpah demi spatula Spongebob yang amat sangat berharga, gue pengen kue yang ada angkanya Sean!” Bianca memekik senang, membuat lelaki itu mengusak pucuk kepala wanita di hadapannya dengan pelan dengan senyum tipis di bibirnya.

“Eh tapi kok lo bisa tau sih gue ulang tahun ke 25?” Tanya Bianca terheran.

“Gue udah pernah liat identitas lo dan semua ocehan lo di twitter.” Sahut Sean malas.

“Oh iya ya bener juga.”

“Lo mau hadiah apa dari gue?” Tanya Sean yang kemudian meneguk pelan gelas sirupnya seolah olah itu adalah wine.

“Ga, gue ga mau apa apa dan memang kebetulan lagi ga ada hal yang diinginkan.”

“Mobil baru?” Tawar Sean

“Gue belajar mobil aja belum.” Bianca menyolek kuenya dengan jari, mencicipi kue yang tercium wangi manisnya matcha.

“Katanya bareng Meewa?”

“Guenya lagi ga ada waktu, males.”

“Katanya ga mau dianter supir?” Sindir Sean

“Iya, tapi karena gue lagi males ga mood ngapa ngapain jadi yaudahlah ya sesekali memanfaatkan fasilitas yang lo kasih.”

“Sering juga gapapa, Bianca.”

“Buat apa?”

“Ya buat kenyamanan lo sendiri.”

“Tapi gue lebih nyaman bawa motor sendiri.” Ucap Bianca yang langsung saja dihadiahi tatapan menusuk Sean.

“Iya iya engga.”

“ATM gue belum lo pake sama sekali?”

“Ya mau gue pake buat apa?”

“Emang lo ga mau beli kebutuhan lo sendiri?” Sean memiringkan wajahnya menatap Bianca dalam cahaya redup.

“Kan gue juga punya gaji, ngapain pake duit lo? Lagian ngapain sih lo ngide ngasih gue ATM?”

“Menurut lo apa gue biarin lo terus terusan pake uang lo sendiri buat kebutuhan pribadi? Lo bisa manjain diri lo pake fasilitas yang gue kasih, beli baju, skincare, sepatu, makanan atau lo mau beli ponsel baru juga lo bisa gunain itu. Ini bukan masalah hidup masing masing, tapi disini gue itu suami lo yang mana harus cukupi apa yang lo butuhkan.”

“Tapi gue memang lagi ga butuh apa yang lo sebutin barusan, Sean.”

“Gue kasih ATM gue tiga bulan lalu, dan selama tiga bulan itu apa lo ga butuh baju baru? Skincare?”

“Baju gue masih cukup bagus dan masih banyak juga baju baru yang gue beli belum kepake, kalo skincare sebulan lalu Meewa kebetulan ngasih gue packaging lengkap dua set ga tau tuh dia ngasih dalam rangka apa.”

“Setidaknya tolong, kalo lo ada kebutuhan pakai ATM gue.”

“Iya nanti.”

“Oh iya, ayah sama bunda Meewa ngasih gue tiket liburan buat kita.”

“Kemana?”

“Jadi mereka tuh sebenernya ngasih gue voucher, nanti kalo gue mau liburan kemana mereka yang kasih segala kebutuhan akomodasinya.”

“Lo mau liburan kemana?”

“Gue mau diem aja di kamar.” Jawaban Bianca membuat Sean menatapnya dengan alis terangkat.

“Maksudnya gue tuh tipe orang yang mending diem aja ga kemana mana mending tidur, ga suka tempat rame.”

“Tapi itu hadiah dari orang tua Meewa buat gue juga.”

“Lo mau pergi?” Tanya Bianca dengan menatap lekat lelaki di hadapannya.

“Udah mereka persiapin kan? Dan itu pemberian, gue tinggal pergi.”

“Maksud gue gini, kalo lo pergi berarti gue juga ikut pergi dong kan ini liburan buat lo dan gue. Nah permasalahannya adalah apa lo baik baik aja pergi sama gue dan ninggalin seseorang disini?”

“Gue tau kok kalo lo masih sama Fanny, jadi daripada lo sandiwara di depan gue baik baik aja karena mau pergi berkat itu hadiah dari orang tua Meewa, tapi pikirin diri lo sendiri. Apa lo baik baik aja, apa lo bahagia?”

“Dan dari pada lo harus sembunyi sembunyi ketemu dia, mending kita udahan aja ini nikah nikahannya. Karena kalo lo sama gue, lo ga akan dapetin kebahagiaan, hidup lo ada di Fanny bukan gue. Jadi menurut gue, kejar aja kebahagiaan lo sendiri, Sean. Please lo ga usah mikirin Meewa atau Eric. Lo juga manusia yang berhak bahagia, sekarang Fanny ada. Jadi ga mungkin lo dinikahin sama Meewa kan?”

“Ini hari ulang tahun gue, dan lo tau apa harapan gue saat ini?”

“Apa?”

“Semoga lo bisa temuin hidup dan kebahagiaan lo sendiri, bukan terjebak dalam kesepakatan yang kita buat.”

“Harusnya lo berharap kebaikan untuk diri lo sendiri, bukan untuk orang lain, bukan gue.”

“Engga, gue udah cukup bahagia. Meewa sahabat gue udah lebih dari cukup.”

Sean masih menatap manik coklat Bianca, tak ada kebohongan, ia berkata jujur dan tulus untuk dirinya. Bagaimana bisa perempuan ini begitu ringan berucap tentang mengakhiri sebuah pernikahan hanya karena perasaannya yang ia sendiri tidak jelas seperti angin yang berhembus kemana. Bahkan ia bisa melihat jika Bianca begitu percaya diri dengan semua ucapannya.

Pleass, bawa kembali Fanny untuk hidup lo.”


Begitu tiba di apartemen, Sean merebahkan tubuhnya pada sofa seraya memijit pelipisnya. Sementara Bianca hanya berdiri kaku di samping sofa dengan helm yang masih ia peluk. Tercetak jelas tatapan tajam ketika meta mereka bertemu.

Saat Sean merubah posisinya menjadi duduk sontak Bianca mengatupkan bibirnya rapat seolah siap untuk dimarahi, dalam hatinya perempuan itu memanjat segala doa agar Sean tidak memarahinya. Lelaki itu merogoh saku celananya dan memberikan sebuah kunci pada Bianca, membuat perempuan itu menatap benda di tangan Sean dengan heran.

“Ga ada motor untuk kedepannya, lo bisa pake mobil gue.”

“Motor gue rusaknya ga parah kan masih bisa di service jadi gue ga perlu pake mobil lo.”

“Gue ga izinin lo lagi bawa motor.”

“Lah kok ngatur?”

“Lo mau kejadian lagi kayak tadi?”

“Ya enggalah, tadi gue lagi sial aja.”

“Berarti bapak yang lo tabrak tadi juga lagi sial?” Bianca meringis mendengar sindiran Sean.

“Maaf.” Cicit Bianca.

“Tangan gue pegel.” Ujar Sean yang masih mengulurkan kunci.

“Tapi gue ga bisa bawa mobil.” Ungkap Bianca, membuat Sean mematung.

“Kalo gitu dianter jemput supir aja.”

“Yakali gue ke pabrik pake supir, berlebihan banget.”

“Lo mau gimana?”

“Naik grab.” Sean mengernyitkan alisnya.

“Grabcar? Ya sama aja lo pake supir.”

“Grabike.”

Sean memejamkan matanya dan menghela nafas.

“Gue bilang ga ada lo naik motor lagi.”

“Kan gue ga bawa motor sendiri Sean, gue penumpang.”

“Pokoknya gue ga mau lo naik motor lagi, ga boleh.”

“Kenapa lo larang gue?”

“Ya lo pikir aja kalo bokap gue tau lo abis nabrak orang apa dia bakalan bolehin lagi lo naik motor?”

Ucapan Sean ada benarnya, jika ayah Sean mengetahui hal ini maka tidak akan baik juga untuk hidupnya. Dan kemungkinan terburuk menyuruhnya untuk resign.

“Oke, tapi gue ga mau selamanya dianter jemput.” Pernyataan Bianca membuat Sean menaikan alisnya.

“Gue mau belajar mobil.” Tambah perempuan itu.

Sean merogoh sakunya mengambil ponsel, mencari sesuatu di sana.

“Mau di mana? Biar gue jadwalin.”

No no nooo, ga usah. Biar gue minta Meewa aja, dia lagi ga ada naskahan jadi bisa.”

“Lo yakin?”

“Iyalah, masa dia ga mau bantuin gue biar bisa bawa mobil?”

“Kalo Meewa ga bisa kasih tau gue.”

“Lo mau ngajarin gue?” Pertanyaan itu membuat Sean memicingkan matanya.

“Iya iya lo jadwalin, kalo gitu udah ya ini masalahnya kelar?”

“Ya.”

“Oke, eh lo balik lagi ke resto ga? Ini masih setengah tujuh soalnya?”

“Mau.”

Bianca mengangguk kemudian melenggangkan kakinya menuju kamar, namun Sean dengan segera berlari meraih lengan perempuan itu.

“Loh?” Bianca terkejut.

Sean mengambil helm lalu melemparnya sembarang, kemudian membuka jaket hitam yang Bianca kenakan dengan paksa.

“SEAN LO KENAPA SIH?” Perempuan itu berontak.

“LO YANG KENAPA? KAKI SAMA TANGAN LO LUKA MASIH BERDARAH GA SADAR?”

Bianca terdiam mendengar suara Sean yang meninggi dan wajahnya yang merah padam.

Perempuan itu kini memeriksa bagian tubuhnya yang Sean sebutkan, benar saja, ia mendapati sikutnya yang masih berdarah. Dan samping pahanya pun terdapat luka yang sama, ia pikir ia hanya tergores pada telapak tangannya saja. Ia benar benar tidak menyadarinya dan tidak merasa perih atau sakit.

“Duduk.” Bianca langsung patuh, ia tahu jika perintah Sean tidak dapat dibantah saat ini.

Pria itu segera mengambil kotak P3K yang terletak di bawah meja tv, dengan gesit duduk di karpet tepat di hadapan Bianca.

Sean menggunting jeans hitam yang melekat ditubuh Bianca agar ia lebih midah mengobatinya, membuat sang empu meringis. Pergerakan Sean terhenti dan menatap perempuannya.

“Perih?” Tanyanya datar.

“Bukan, ini jeans baru gue.”

Entah helaan nafas keberapa kali yang Sean keluarkan terhadap Bianca petang hari ini, bagaimana bisa ia memikirkan celana baru yang ia beli daripada luka yang ia dapat.

“Hermes? Besok gue beliin tokonya sekalian.” Bianca menggerling mendengar ucapan Sean.

“Maaf.”

“Kenapa minta maaf ke gue? Harusnya lo minta maaf sama diri lo sendiri, luka berdarah gini lo biarin. Ga kasian apa sama badan sendiri?”

“Ya lagian gue juga ga tau kalo ternyata gue luka sampe paha begini, sikut juga ga kerasa cuma nyadar telapak tangan aja lecet. Apa gue pake baju item item makanya ga keliatan ya? Atau gue saking panikn-aww.”

“Gue kalo tau lo luka, langsung dibawa ke rumah sakit kali.” Sean dengan telaten membersihkan luka pada paha Bianca, tidak mempedulikan suara kesakitan yang perempuan itu keluarkan.

“Sean, perih.” Rengeknya.

“Waktu darah ngalir lo ga ngerasa perih masa ini gue obatin perih?”

“Itu lo pake alcohol ya perih anjir.”

Sean menatap Bianca tajam.

“Lo mau gue obatin ga?”

“Mau.” Suaranya pelan.

“Yaudah diem.”

Bibir Bianca mengerucut, sesekali menahan ringisan kala perih itu semakin menjadi. Jika bukan Sean yang melihat lukanya, mungkin ia tak akan menyadarinya sama sekali.

Dan ia hari ini Bianca menyadari jika Sean begitu sangat peduli padanya, bahkan saat lelaki itu membentaknya benar benar tersirat akan kekhawatiran.


Begitu tiba di apartemen, Sean merebahkan tubuhnya pada sofa seraya memijit pelipisnya. Sementara Bianca hanya berdiri kaku di samping sofa dengan helm yang masih ia peluk. Tercetak jelas tatapan tajam ketika meta mereka bertemu.

Saat Sean merubah posisinya menjadi duduk sontak Bianca mengatupkan bibirnya rapat seolah siap untuk dimarahi, dalam hatinya perempuan itu memanjat segala doa agar Sean tidak memarahinya. Lelaki itu merogoh saku celananya dan memberikan sebuah kunci pada Bianca, membuat perempuan itu menatap benda di tangan Sean dengan heran.

“Ga ada motor untuk kedepannya, lo bisa pake mobil gue.”

“Motor gue rusaknya ga parah kan masih bisa di service jadi gue ga perlu pake mobil lo.”

“Gue ga izinin lo lagi bawa motor.”

“Lah kok ngatur?”

“Lo mau kejadian lagi kayak tadi?”

“Ya enggalah, tadi gue lagi sial aja.”

“Berarti bapak yang lo tabrak tadi juga lagi sial?” Bianca meringis mendengar sindiran Sean.

“Maaf.” Cicit Bianca.

“Tangan gue pegel.” Ujar Sean yang masih mengulurkan kunci.

“Tapi gue ga bisa bawa mobil.” Ungkap Bianca, membuat Sean mematung.

“Kalo gitu dianter jemput supir aja.”

“Yakali gue ke pabrik pake supir, berlebihan banget.”

“Lo mau gimana?”

“Naik grab.” Sean mengernyitkan alisnya.

“Grabcar? Ya sama aja lo pake supir.”

“Grabike.”

Sean memejamkan matanya dan menghela nafas.

“Gue bilang ga ada lo naik motor lagi.”

“Kan gue ga bawa motor sendiri Sean, gue penumpang.”

“Pokoknya gue ga mau lo naik motor lagi, ga boleh.”

“Kenapa lo larang gue?”

“Ya lo pikir aja kalo bokap gue tau lo abis nabrak orang apa dia bakalan bolehin lagi lo naik motor?”

Ucapan Sean ada benarnya, jika ayah Sean mengetahui hal ini maka tidak akan baik juga untuk hidupnya. Dan kemungkinan terburuk menyuruhnya untuk resign.

“Oke, tapi gue ga mau selamanya dianter jemput.” Pernyataan Bianca membuat Sean menaikan alisnya.

“Gue mau belajar mobil.” Tambah perempuan itu.

Sean merogoh sakunya mengambil ponsel, mencari sesuatu di ponselnya.

“Mau di mana? Biar gue jadwalin.”

No no nooo, ga usah. Biar gue minta Meewa aja, dia lagi ga ada naskahan jadi bisa.”

“Lo yakin?”

“Iyalah, masa dia ga mau bantuin gue biar bisa bawa mobil?”

“Kalo Meewa ga bisa kasih tau gue.”

“Lo mau ngajarin gue?” Pertanyaan itu membuat Sean memicingkan matanya.

“Iya iya lo jadwalin, kalo gitu udah ya ini masalahnya kelar?”

“Ya.”

“Oke, eh lo balik lagi ke resto ga? Ini masih setengah tujuh soalnya?”

“Mau.”

Bianca mengangguk kemudian melenggangkan kakinya menuju kamar, namun Sean dengan segera berlari meraih lengan perempuan itu.

“Loh?” Bianca terkejut.

Sean mengambil helm lalu melemparnya sembarang, kemudian membuka jaket hitam yang Bianca kenakan dengan paksa.

“SEAN LO KENAPA SIH?” Perempuan itu berentak.

“LO YANG KENAPA? KAKI SAMA TANGAN LO LUKA MASIH BERDARAH GA SADAR?”

Bianca terdiam mendengar suara Sean yang meninggi dan wajahnya yang merah padam.

Perempuan itu kini memeriksa bagian tubuhnya yang Sean sebutkan, benar saja, ia mendapati sikutnya yang masih berdarah. Dan samping pahanya pun terdapat luka yang sama, ia pikir ia hanya tergores pada telapak tangannya saja. Ia benar benar tidak menyadarinya dan merasa perih atau sakit.

“Duduk.” Bianca langsung patuh, ia tahu jika perintah Sean tidak dapat dibantah saat ini.

Pria itu segera mengambil kotak P3K yang terletak di bawah meja tv, dengan gesit duduk di karpet tepat dihadapan Bianca.

Sean menggunting jeans hitam yang melekat ditubuh Bianca, membuat sang empu meringis. Membuat pergerakan Sean terhenti dan menatap perempuannya.

“Perih?” Tanyanya datar.

“Bukan, ini jeans baru gue.”

Entah helaan nafas keberapa kali yang Sean keluarkan terhadap Bianca petang hari ini, bagaimana bisa ia memikirkan celana baru yang ia beli daripada luka yang ia dapat.

“Hermes? Besok gue beliin tokonya sekalian.”

“Maaf.”

“Kenapa minta maaf ke gue? Harusnya lo minta maaf sama diri lo sendiri, luka berdarah gini lo biarin. Ga kasian apa sama badan sendiri?”

“Ya lagian gue juga ga tau kalo ternyata gue luka sampe paha begini, sikut juga ga kerasa cuma nyadar telapak tangan aja lecet. Apa gue saking panikn-aww.”

“Gue kalo tau lo luka, langsung dibawa ke rumah sakit kali.” Sean dengan telaten membersihkan luka pada paha Bianca, tidak mempedulikan suara kesakitan yang perempuan itu keluarkan.

“Sean, perih.” Rengeknya.

“Waktu darah ngalir lo ga ngerasa masa ini gue obatin perih?”

“Itu lo pake alcohol ya perih anjir.”

Sean menatap Bianca tajam.

“Lo mau gue obatin ga?”

“Mau.” Suaranya pelan.

“Yaudah diem.”

Bibir Bianca mengerucut, sesekali menahan ringisan kala perih itu semakin menjadi. Jika bukan Sean yang melihat lukanya, mungkin ia tak akan menyadarinya sama sekali.

Dan ia hari ini Bianca menyadari jika Sean begitu sangat peduli padanya, bahkan saat lelaki itu membentaknya benar benar tersirat akan kekhawatiran.


Bianca yang baru saja keluar dari kamar mandi tak menemukan keberadaan Sean, ia tadi sempat berpikir jika lelaki itu masih terlelap. Namun ternyata ranjang yang semalam ia tiduri bersama sekarang kosong dengan bantal dan selimut yang belum dirapikan.

Ia kemudian merapikan ranjang itu lalu pandangannya ia alihkan pada jendela kamar apartemen Sean, ia dapet jelas melihat pemandangan ibukota dari ketinggian. Namun atensinya teralihkan pada tumpukan box miliknya di samping jendela.

“Gue males beresin bajunya sumpah masih capek, tapi masa iya engga di beresin ini rumah orang Bianca?” Ia merutuk pada dirinya sendiri.

Kemudian ia melangkahkan kakinya, mendekati lemari yang Sean kemarin malam tunjuk untuk dirinya tepat di samping lemari Sean.

“Oke, abis beresin baju ayo pergi Bianca!” Ia bersorak menyemangati dirinya sendiri.


Bianca keluar kamar setelah satu jam berkutat dengan pakaian yang ia susun di lemari, ia terheran mengapa selama itu Sean tidak menampakan dirinya di kamar. Aneh memang, ia tidak mengharapkan paginya akan indah seperti pasangan pada umumnya, malah ia ingin menghindarinya. Terlintas di benaknya mungkin Sean pergi ke suatu tempat tanpa memberi tahunya, memang sepenting itu dirinya sampai Sean harus memberi tahu? Tentu tidak, hanya sekedar partner dalam misi penyelamatan sabahat tersayang.

Saat netranya menelusuri setiap sudut apartemen yang bernuansa putih itu, ia mendapati Sean tengah berada di balkon ruang tengah dengan secangkir kopi ditangannya. Menyadari jika seseorang tengah menatapnya, Sean berbalik balas menatap Bianca.

Datar.

Tatapannya terlampau datar, Bianca tidak dapat menebak apa arti tatapan dan apa yang sedang dipikirkan Sean.

Malas berpikir, Bianca melangkah mengambil air minum. Setelah meneguknya ia berujar tanpa menatap Sean.

“Hari ini gue ada urusan di luar.”

“Urusan apa?”

Perempuan itu sedikit terkejut ketika ia berbalik mendapati Sean yang kini duduk manis di meja makan.

“Apa gue harus ngasih tau lo urusan gue apa?”

“Engga.”

“Oke, barusan gue cuma ngasih tau aja mau ke luar.” Ucap Bianca.

“Lo boleh pergi asal sarapan dulu.” Sean menatap Bianca masih dengan wajah datarnya itu.

“Oke.” Perempuan itu setuju untuk sarapan dahulu sebelum pergi, dan ketika melihat menu sarapan yang mungkin sudah Sean siapkan, ia terdiam. Kemudian netra coklatnya itu menatap Sean dan nasi secara bergantian.

“Lo ga suka? Ga usah dimakan.” Sean menyadari tatapan Bianca yang tersirat akan sesuatu.

“Bukan bukan gitu maksud gue, dimakan kok.” Sean melihat kepanikan melanda Bianca, lalu gadis dihadapannya ini mengangkat sendoknya menyantap sarapan.

Sorry bahan di kulkas kosong jadi cuma ini aja yang bisa gue bikin.”

Bianca menatap Sean yang kini ikut memakan sarapan, sejenak ia berpikir tentang pria di depannya. Sean yang saat pertama kali bertemu dan Sean yang saat ini bersamanya begitu jelas berbeda.

“Gapapa, ini aja gue makasih banget udah dibikinin sarapan.”

Senyuman manis lesung pipit itu tak lagi menghiasi wajahnya, kini terganti oleh tatapan malas dan wajah datarnya.

Selesai dengan santapannya, Bianca berinisiatif untuk mencuci piring. Tentu ia sungkan, hanya tinggal makan saja tetapi itu juga merupakan tanda terima kasihnya pada Sean.

“Bianca, ada yang telepon.” Suara Sean menginterupsi kegiatan mencuci piring Bianca, lalu ia menoleh.

“Siapa?”

“Wawa.” Sean melihat siapa penelepon di ponsel Bianca yang terletak di meja makan, kebetulan pria itu masih belum beranjak dari sana.

“Tolong angkat maaf, loudspeaker.” Sean dengan segera menerima panggilan itu lalu kembali memainkan ponselnya.

Bi, lo jadi kan pergi sekarang?

“Iya jadi?”

Maaf ya gue ga jadi ikut, Bunda tiba tiba minta dianterin ke Surabaya.”

“Oh, gapapa gue bisa sendiri kok.”

Naik apa?”

“Grab aja kayaknya, motor gue masih di kosan.”

Oke deh, hati hati ya titip salam sama om Gio, bilangin maafin anaknya yang ini ga bisa dateng OH JANGAN LUPA BILANG KALO ANAKNYA UDAH NIKAH JUGA.”

“Iya iya bawel.”

Durhaka lo, masa nikah kaga ngasih tau ayah sendiri parah nih emang anak satu.

“Iya makanya ini mau minta maaf, udah ya gue lagi cuci piring.”

Iya iya, hati hati ya sayangku cintaku kasihku bye bye.).”

Sean yang tadinya acuh dengan percakapan dua sahabat itu mulai tertarik untuk mendengarkan ketika Meewa mengatakan hal yang membuat ia sedikit terkejut.

“Lo mau ke tempat ayah lo?” Tanya Sean penasaran.

“Hah? Eh-iya kenapa?” Bianca menutup kran air, lalu megeringkan tangannya tanda ia sudah selesai dengan pekerjaanya tadi.

“Gue ikut.”

“Kema-? Loh ngapain ikut?”

“Lo katanya mau bilang ke ayah lo udah nikah, masa gue ga ikut?”

“Iya sih, tapi ngapain ikut gue kan bilangnya mau minta maaf ke ayah kalo gue nikah cuma buat nolongin Meewa, ga nikah beneran.”

“Iya gue ikut.”

“Ga usah.”

“Gue mau minta maaf juga, karena gue yang ngusulin pernikahan.”

Bianca terdiam, Sean memang benar. Ia yang mengajukan usul pernikahan dengannya, tetapi tetap saja ia tak mau Sean ikut karena alasan utamanya adalah untuk menghindar, ia tak ingin berada dalam suasana canggung saat bersama Sean.

Lagi pula ia ingin meminta maaf pada ayahnya karena ia menikah karena sebuah kesepakatan, bukan atas dasar perasaan. Karena ia sendiri sedang mencoba untuk berdamai dengan perasaanya itu sendiri, perasaan yang masih menyimpan kenangan pahit di masalalu.

Dan jauh di dalam lubuk hatinya, Bianca takut akan kehadiran Sean.


Sean menghampiri meja kasir yang terletak di dekat pintu masuk, ia bermaksud menunggu Bianca yang beberapa menit lalu memberi tahunya jika sang gadis akan segera sampai di restoran miliknya.

“Ada apa, Chef?” Tanya seorang kasir dengan senyum mengembangnya.

“Ah, engga.” Sean mengambil buku menu yang ada di hadapannya dan membuka lembar demi lembar menu itu.

Dua perempuan yang berada di meja kasir itu hanya saling melirik dan membatin melihat tingkah Chef kebanggaan mereka, apalagi saat ini ayahnya ia tinggalkan di meja yang sedang memakan Canape Caprese.

“Chef, itu ayahnya ga ditemenin?”

“Gapapa, ga bakal ilang.” Sahutnya asal.

“Bukan gitu Chef, nanti orang ngiranya Chef lagi marahan sama ayahnya.”

“Iyakah? Kata siapa?” Sean tersenyum simpul tanpa mengatahui seorang gadis yang tengah memperhatikannya di ambang pintu restoran, dan tanpa sadar gadis itupun meyunggingkan bibirnya.

“Kata Aku Chef, tuh liat lagi cemberut.” Dua kasir itu tertawa akan canda yang sebenarnya tidak lucu.

“Oh iya Chef, kemarin yang duduk di meja nomor 9 siapa?” Tanya gadis berambut ikal.

“Pacarnya ya?” Sahutnya lagi.

“Loh, itu mbaknya bukan?” Tunjuk gadis yang berdiri di hadapan Sean pada seseorang di ambang pintu.

Sean yang memalingkah wajahnya melihat Bianca yang tiba kemudian terseyum, kemudian ia melirik dua pegawainya itu dengan sebuah anggukan. Membuat dua gadis itu menjerit tertahan karena jawaban dari Sean.

Bianca yang kini menjadi pusat perhatian tiga orang di depannya kini melangkah menghampiri Sean.

“Hai.” Sapa Sean sama seperti pertama kali bertemu.

Sorry telat, tadi macet banget.”

“Gapapa.” Sean kemudian meraih jemari Bianca tanpa aba aba tepat di hadapan dua pegawainya itu menambah jeritan tertahan lagi, tentu saja hal itu membuat Bianca luar biasa terkejut.

Gadis itu sontak ingin melepaskan genggaman Sean, namun lelaki itu mengenggamnya erat.

“Diem, itu ada ayah gue.” Bisiknya.

Degupan jantung Bianca kini terasa berkali kali lipat, saat Sean menggenggam jemarinya ia terkejut dan sekarang ia gugup karena akan bertemu dengan ayah Sean.

Lelaki di sampingnya itu menuntun Bianca untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan ayah Sean.

“Maaf, Chef kayaknya harus liat ke pantry dulu.” Ucap salah satu koki dengan raut wajah seriusnya.

“Maaf, tunggu dulu sebentar.” Sean mengusap pelan pucuk kepala Bianca, membuat gadis itu melebarkan matanya. Sungguh, perlakuan Sean tidak baik untuk kesehatan jantung Bianca.

“Ha-alo Om, selamat sore.” Bianca luar biasa gugup berhadapan dengan orang yang ada di depannya kini.

Pria paruh baya itu menyeka sudut bibirnya sesaat dengan tisu, kemudian ia menyambut Bianca dengan seulas senyum tipis.

“Sore, Bianca Tamaran?”

“Iya saya, Om.”

“Saya Angga Malviano, ayah Sean. Kamu ga keberatan kan ketemu saya?” Tanya Angga.

“Enggak kok Om, kenapa harus keberatan hehe.”

“Oh ya?”

“Iya, cuma gugup aja Om.”

“Gugup kenapa?”

“Sedikit merasa terbebani sebetulnya.”

“Loh, kenapa jadi terbebani ketemu saya?”

“Takutnya Om punya ekspektasi lebih sama Bianca.”

“Ekspektasi seperti apa?”

“Status sosial mungkin, atau Om gak suka kalo Sean berhubungan sama Bianca.”

“Nah saya mau tanya deh, kamu kenapa bisa suka sama anak saya?”

Pertanyaan Angga tentu saja membuat Bianca terdiam cukup lama, ia sudah menyangka pertanyaan ini akan terlontar tetapi tetap aja ia tak bisa menjawab.

“Apa menyukai seseorang harus punya alasan Om?”

“Tidak.”

“Kalo Om tanya kenapa bisa Bianca tertarik sama Sean, itu karena Sean sosok yang baik. Waktu pertama ketemu Sean itu waktu Bianca pulang kerja malem, kebetulan hujan deres dan aneh banget motor Bianca mogok tiba tiba padahal baru beres di service bulanan. Om tahu jalan yang dulunya dipakai lintasan pesawat di dekat danau seberang pemukiman bawah tol?”

“Tentu tahu.”

“Bianca udah panik sendiri ga tau harus apa, disana ga ada orang. Tapi Sean keluar dari mobilnya tanpa payung, bener ujan ujanan basah kuyub bantuin Bianca buat nyalain motor.”

Angga mengangguk paham mendengar bualan yang keluar dari mulut Bianca.

“Kebaikan dan ketulusan Sean yang membuat Bianca tertarik, Om tahu Sean itu seperti angin, ia datang tanpa peringatan tak dapat dilihat tapi bisa dirasakan. Angin itu menggerakan Bianca, berbisik untuk lebih mengenal sosok Sean, bukan Chef Sean ataupun seorang Sean yang menyandang nama Malviano, tapi seorang Sean yang begitu baik memperlakukan manusia lain dengan caranya sendiri, membuat Bianca begitu aman dalam setiap perlakuannya.”

“Tapi angin yang besar bisa sangat berbahaya.” Timpal Angga.

“Benar, tak dipungkiri jika sewaktu waktu angin yang hanya melambai bisa menjadi malapetaka. Entah kapan akan menggiring ke tepian, tapi jika di lautan nakhoda akan berusaha untuk menaklukan badai. Sama seperti Sean dan Bianca dari kita masing masing mungkin bisa menjadi nahkoda tersebut.”

“Bianca, kamu sudah seberapa paham dan mengenal Sean?”

“Em, sejujurnya Bianca gak tau karena kita memang belum cukup lama saling mengenal, jadi kita masih dalam tahap saling memahami dan mengerti satu sama lain.”

“Kamu mencintainya?”

“Perlakuan Sean cukup bisa dipahami saat kami meluangkan waktu, Bianca merasa aman saat diperhatikan, disayangi dan dicintai. Tentu Bianca juga akan memberikan rasa aman, sayang dan cinta untuk Sean.”

“Kamu bilang tidak ingin mengenal Sean sebagai seorang Malviano, kamu sadar apa maksudnya it-” Kalimat Angga terhenti ketika pundaknya ditepuk oleh Sean yang entah sejak kapan berada di belakang Angga dan mendengar kalimat yang akan ayahnya lontarkan.

“Bianca awalnya ga tau kalo Sean punya Malviano dalam namanya, cuma tahu Sean itu juri Master Chef. Dan Sean ga melihat kalo Bianca mendekati aku karena nama itu, aku bisa jamin, Yah.” Ujar Sean.

“Ya, Ayah ga permasalahkan itu toh. Ayah udah liat ko dia tulus sama kamu, dengerin Bianca ceritain kamu sambil senyum kaya orang gila aja jelas banget.”

“Loh, emang tadi Bianca senyum senyum gitu waktu ceritain Sean, Om?”

“Cek cctv gih, liat anak gadis orang kasmaran gara gara anak Ayah rasanya agak sedikit malu, tapi pengen bawa ke rumah sakit sih takut kenapa napa soalnya.”

“Om, ih emang tadi Bianca bilang apa aja emang ko bisa senyum kaya orang gila sih?” Gadis itu tak terima mendengar ucapan Angga.

Bianca kembali terkejut akan tindakan mendadak Sean, lelaki yang duduk di sampingnya ini kembali menggenggam jemarinya yang berada di atas meja. Tentu saja hal itu tak luput dari perhatian Angga.

“Karena Ayah udah tahu gimana perasaan Bianca terhadap Sean, dan aku ga mau kehilangan Bianca. Waktu ga bisa menjadi jaminan apakah mengenal lama atau sesaat bisa membuat kami lebih menyayangi sedalam lautan. Namun Sean yakin, kali ini Bianca merupakan tempat untuk Sean pulang, tempat ternyaman dan teraman, dunia Sean lebih hidup karena kehadiran Bianca. Jadi Sean saat ini meminta izin pada Ayah untuk memberikan persetujuan untuk menikahi Bianca.”


Sean menghampiri meja kasir yang terletak di dekat pintu masuk, ia bermaksud menunggu Bianca yang beberapa menit lalu memberi tahunya jika sang gadis akan segera sampai di restoran miliknya.

“Ada apa, Chef?” Tanya seorang kasir dengan senyum mengembangnya.

“Ah, engga.” Sean mengambil buku menu yang ada di hadapannya dan membuka lembar demi lembar menu itu.

Dua perempuan yang berada di meja kasir itu hanya saling melirik dan membatin melihat tingkah Chef kebanggaan mereka, apalagi saat ini ayahnya ia tinggalkan di meja yang sedang memakan Canape Caprese.

“Chef, itu ayahnya ga ditemenin?”

“Gapapa, ga bakal ilang.” Sahutnya asal.

“Bukan gitu Chef, nanti orang ngiranya Chef lagi marahan sama ayahnya.”

“Iyakah? Kata siapa?” Sean tersenyum simpul tanpa mengatahui seorang gadis yang tengah memperhatikannya di ambang pintu restoran, dan tanpa sadar gadis itupun meyunggingkan bibirnya.

“Kata Aku Chef, tuh liat lagi cemberut.” Dua kasir itu tertawa akan canda yang sebenarnya tidak lucu.

“Oh iya Chef, kemarin yang duduk di meja nomor 9 siapa?” Tanya gadis berambut ikal.

“Pacarnya ya?” Sahutnya lagi.

“Loh, itu mbaknya bukan?” Tunjuk gadis yang berdiri di hadapan Sean pada seseorang di ambang pintu.

Sean yang memalingkah wajahnya melihat Bianca yang tiba kemudian terseyum, kemudian ia melirik dua pegawainya itu dengan sebuah anggukan. Membuat dua gadis itu menjerit tertahan karena jawaban dari Sean.

Bianca yang kini menjadi pusat perhatian tiga orang di depannya kini melangkah menghampiri Sean.

“Hai.” Sapa Sean sama seperti pertama kali bertemu.

Sorry telat, tadi macet banget.”

“Gapapa.” Sean kemudian meraih jemari Bianca tanpa aba aba tepat di hadapan dua pegawainya itu menambah jeritan tertahan lagi, tentu saja hal itu membuat Bianca luar biasa terkejut.

Gadis itu sontak ingin melepaskan genggaman Sean, namun lelaki itu mengenggamnya erat.

“Diem, itu ada ayah gue.” Bisiknya.

Degupan jantung Bianca kini terasa berkali kali lipat, saat Sean menggenggam jemarinya ia terkejut dan sekarang ia gugup karena akan bertemu dengan ayah Sean.

Lelaki di sampingnya itu menuntun Bianca untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan ayah Sean.

“Maaf, Chef kayaknya harus liat ke pantry dulu.” Ucap salah satu koki dengan raut wajah seriusnya.

“Maaf, tunggu dulu sebentar.” Sean mengusap pelan pucuk kepala Bianca, membuat gadis itu melebarkan matanya. Sungguh, perlakuan Sean tidak baik untuk kesehatan jantung Bianca.

“Ha-alo Om, selamat sore.” Bianca luar biasa gugup berhadapan dengan orang yang ada di depannya kini.

Pria paruh baya itu menyeka sudut bibirnya sesaat dengan tisu, kemudian ia menyambut Bianca dengan seulas senyum tipis.

“Sore, Bianca Tamaran?”

“Iya saya, Om.”

“Saya Angga Malviano, ayah Sean. Kamu ga keberatan kan ketemu saya?” Tanya Angga.

“Enggak kok Om, kenapa harus keberatan hehe.”

“Oh ya?”

“Iya, cuma gugup aja Om.”

“Gugup kenapa?”

“Sedikit merasa terbebani sebetulnya.”

“Loh, kenapa jadi terbebani ketemu saya?”

“Takutnya Om punya ekspektasi lebih sama Bianca.”

“Ekspektasi seperti apa?”

“Status sosial mungkin, atau Om gak suka kalo Sean berhubungan sama Bianca.”

“Nah saya mau tanya deh, kamu kenapa bisa suka sama anak saya?”

Pertanyaan Angga tentu saja membuat Bianca terdiam cukup lama, ia sudah menyangka pertanyaan ini akan terlontar tetapi tetap aja ia tak bisa menjawab.

“Apa menyukai seseorang harus punya alasan Om?”

“Tidak.”

“Kalo Om tanya kenapa bisa Bianca tertarik sama Sean, itu karena Sean sosok yang baik. Waktu pertama ketemu Sean itu waktu Bianca pulang kerja malem, kebetulan hujan deres dan aneh banget motor Bianca mogok tiba tiba padahal baru beres di service bulanan. Om tahu jalan yang dulunya dipakai lintasan pesawat di dekat danau seberang pemukiman bawah tol?”

“Tentu tahu.”

“Bianca udah panik sendiri ga tau harus apa, disana ga ada orang. Tapi Sean keluar dari mobilnya tanpa payung, bener ujan ujanan basah kuyub bantuin Bianca buat nyalain motor.”

Angga mengangguk paham mendengar bualan yang keluar dari mulut Bianca.

“Kebaikan dan ketulusan Sean yang membuat Bianca tertarik, Om tahu Sean itu seperti angin, ia datang tanpa peringatan tak dapat dilihat tapi bisa dirasakan. Angin itu menggerakan Bianca, berbisik untuk lebih mengenal sosok Sean, bukan Chef Sean ataupun seorang Sean yang menyandang nama Malviano, tapi seorang Sean yang begitu baik memperlakukan manusia lain dengan caranya sendiri, membuat Bianca begitu aman dalam setiap perlakuannya.”

“Tapi angin yang besar bisa sangat berbahaya.” Timpal Angga.

“Benar, tak dipungkiri jika sewaktu waktu angin yang hanya melambai bisa menjadi malapetaka. Entah kapan akan menggiring ke tepian, tapi jika di lautan nakhoda akan berusaha untuk menaklukan badai. Sama seperti Sean dan Bianca dari kita masing masing mungkin bisa menjadi nahkoda tersebut.”

“Bianca, kamu sudah seberapa paham dan mengenal Sean?”

“Em, sejujurnya Bianca gak tau karena kita memang belum cukup lama saling mengenal, jadi kita masih dalam tahap saling memahami dan mengerti satu sama lain.”

“Kamu mencintainya?”

“Perlakuan Sean cukup bisa dipahami saat kami meluangkan waktu, Bianca merasa aman saat diperhatikan, disayangi dan dicintai. Tentu Bianca juga akan memberikan rasa aman, sayang dan cinta untuk Sean.”

“Kamu bilang tidak ingin mengenal Sean sebagai seorang Malviano, kamu sadar apa maksudnya it-” Kalimat Angga terhenti ketika pundaknya ditepuk oleh Sean yang entah sejak kapan berada di belakang Angga dan mendengar kalimat yang akan ayahnya lontarkan.

“Bianca awalnya ga tau kalo Sean punya Malviano dalam namanya, cuma tahu Sean itu juri Master Chef. Dan Sean ga melihat kalo Bianca mendekati aku karena nama itu, aku bisa jamin, Yah.” Ujar Sean.

“Ya, Ayah ga permasalahkan itu toh. Ayah udah liat ko dia tulus sama kamu, dengerin Bianca ceritain kamu sambil senyum kaya orang gila aja jelas banget.”

“Loh, emang tadi Bianca senyum senyum gitu waktu ceritain Sean, Om?”

“Cek cctv gih, liat anak gadis orang kasmaran gara gara anak Ayah rasanya agak sedikit malu, tapi pengen bawa ke rumah sakit sih takut kenapa napa soalnya.”

“Om, ih emang tadi Bianca bilang apa aja emang ko bisa senyum kaya orang gila sih?” Gadis itu tak terima mendengar ucapan Angga.

Bianca kembali terkejut akan tindakan mendadak Sean, lelaki yang duduk di sampingnya ini kembali menggenggam jemarinya yang berada di atas meja. Tentu saja hal itu tak luput dari perhatian Angga.

“Karena Ayah udah tahu gimana perasaan Bianca terhadap Sean, dan aku ga mau kehilangan Bianca. Waktu ga bisa menjadi jaminan apakah mengenal lama atau sesaat bisa membuat kami lebih menyayangi sedalam lautan. Namun Sean yakin, kali ini Bianca merupakan tempat untuk Sean pulang, tempat ternyaman dan teraman, dunia Sean lebih hidup karena kehadiran Bianca. Jadi Sean saat ini meminta izin pada Ayah untuk memberikan persetujuan untuk menikahi Bianca.”


Bianca dipersilakan duduk di kursi yang sudah diperuntukan untuknya, sudut restoran yang berhadapan dengan jendela kaca yang memanjang memperlihatkan jalanan ibukota yang padat setelah aktivitas.

Restoran itu terlihat ramai pada jam pulang bekerja, namun gadis yang duduk dengan ponsel di tangannya jelas tampak gelisah. Ia merasa pandangan para pegawai tertuju padanya, apakah penampilannya ada yang aneh atau mereka mencium aroma tak sedap pada dirinya, benaknya terus bertanya.

Setelah mengirimkan pesan singkat, ia dapat melihat pintu pantry terbuka menampakkan seorang pria dengan baju kebanggaannya yang berwarna putih, berpadu dengan golden brown hair serta senyum yang terpatri di bibirnya yang menimbulkan lesung pipit manis.

Tidak dipungkiri jika Bianca kini terpesona melihat sosok pria yang tengah berjalan ke arahnya.

“Hai.” Sapa pria itu.

“Oh hai, gue Bianca Tamaran.”

“Lo naik motor dari tempat kerja ke sini sendiri?”

“Engga, gue bareng temen dia drop di pertigaan situ.”

Pria itu mengangguk.

“Juan.” Ia melambai pada seorang koki yang melintas.

“Pasta yang baru gue masak tolong bawain kesini.”

“Oke, Chef.”

“Lo suka pasta kan?” Tanyanya.

“Suka.”

Pria itu kembali mengangguk.

“Oh iya, gue cuma mau mastiin aja. Lo pastinya udah tau tentang gue kan? Maksudnya informasi tentang gue, kayak lo bisa tau latar belakang orang dengan mudah gitu.” Ujar Bianca.

No, itu melanggar kenyamanan privasi. Gue ga tau apa apa soal lo, cuma sebatas nama dan usia itu juga gue tau dari Meewa.”

“Kenapa ga lo sekalian aja tanya sama Meewa seluk beluk gue?”

“Ini alasannya gue minta ketemu, nanya langsung dan dapet jawaban yang jelas.”

“Hm, sebelumnya makasih lo bener bener menjaga untuk ga cari inform-”

“Selamat menikmati.” Juan, pria yang Sean minta untuk membawakan pasta membuat Bianca menghentikan ucapannya sejenak. Kemudian pria itu mengangguk seraya tersenyum kepada Bianca sebelum melenggangkan kakinya.

“Ini beneran lo sendiri yang masak?”

“Iya.”

“Makasih.” Bianca kemudian mencicipi pasta yang sengaja Sean sajikan untuknya, sementara Sean tengah memperhatikan bagaimana reaksi gadis di hadapannya terhadap pasta yang ia buat.

“Enak.” Ucap gadis itu dengan senyum simpulnya.

Sean mengangguk.

“Jangan lupa bayar, ga ada yang gratis.”

Kalimat tersebut membuat Bianca terdiam sesaat.

“Lo yang nyuruh gue kesini, masa iya gue yang bayar?”

“Bukan pake uang.” Sean terkekeh.

“Tapi bayarnya pakai informasi pribadi lo.”

Bianca mengerucutkan bibirnya merasa dipermainkan.

“Yaudah lo mau tau apa?”

“Ceritain aja tentang diri lo.”

“Oh oke, gue dari lulus kuliah sampe saat ini kerja di pabrik industri daerah selatan, belum ada rencana buat resign atau pindah cari pengalaman baru. Gue anak tunggal, ayah gue udah tenang di atas, ibu gue tinggal sendiri di kampung, di sini gue kos-ah ga jauh dari sini. Kenal Meewa dari kelas tujuh, kebetulan satu SMA dan satu kampus juga. Jadi ga heran kalo kita lengket kayak lem, dan sayang Meewa banget. Gue pengen liat Meewa bahagia, tapi pas denger dia mau dijodohin gue juga mau nangis. Ini gue ngomong serius ya ga becanda soal mau nangis denger itu, karena sesayang itu gue ke Meewa.”

“Lo di pabrik itu bagian apa?”

“Staff, administrasi produksi.”

“Selama tiga tahun?”

“Ya.”

“Ga ada rencana pindah sama sekali dari sana?”

“Ga, gue udah nyaman sama lingkungannya. Temen temennya humble kerjaan juga gak berat amat, udah perfect kalo misalnya pindah gue ga jamin punya kenyamanan itu semua.”

“Lo ga masalah soal gaji?”

“Kenapa emang?”

“Bukannya setara upah minimum regional?”

“Oh, gue di sana awalnya dapet penawaran dan ya tentunya kesempatan itu gak bisa gue lewatkan. Seenggaknya gue bisa negosiasi gaji.”

“Eh sorry gue ga sopan banget nanya upah.”

“Gapapa, ini bagian dari lo untuk mendalami peran pura pura pacaran.”

“Ah oke.”

“Ini kita kalo ada yang nanya kapan pacaran bilang aja belum lama ya, soalnya sus banget kalo dibilang udah lama. Sorry ya, informasi lo bertebaran di mesin pencarian google.”

“Paham.”

“Tiga atau empat bulan aja kali ya?”

“Terserah lo.”

“Yaudah empat bulan aja, kita kenal ga sengaja jangan bilang kenal gara gara satu tongkrongan lewat Eric atau Meewa orang bisa curiga.”

“Iya.”

“Ini kita udah sepakat kan jadi pacar boongan?”

“Memangnya kenapa?”

“Ya mastiin aja, bisa jadi lo berubah pikiran setelah denger tentang gue?”

“Engga.”

“Oke, berarti kesepakatan kita berakhir kalo Meewa sama Eric merried ya.”

“Hm.”

“Anjir, lama dong ya kalo beneran kata Meewa sekitar dua tahun.”

“Dua tahun apa?”

“Nunggu perusahaan Eric stabil, wah keburu tua dong gue?”

“Ya sama.”

“Ga gitu, maksudnya gue pengen nikah juga. Lo juga pasti mau nikah dong, masa nungguin Eric keburu lumutan dong.”

“Jadinya lo mau bantuin Meewa apa engga?”

“Iyalah mau, kalo engga ga bakalan ada di sini gue.”

“Yaudah tunggu sampe dua tahun.”

Bianca hanya bisa menghela nafas seraya menyandarkan tubuhnya pada kursi, membayangkan harus berpura pura memiliki sebuah hubungan di hadapan orang tua sahabatnya.

#229


Setelah diantar Anggi tepat di depan gerbang kediaman Arez, Anna masih enggan untuk masuk. Ia berjongkok lalu menyandarkan tubuhnya pada pagar rumah, seraya menatap langit yang mulai menggelap.

Perempuan itu menatap langit dengan tatapan kosongnya, ia berusaha untuk menenangkan dirinya untuk terlihat baik baik saja agar tak ada orang yang tahu akan apa yang telah terjadi siang tadi.

Namun ia kembali tersadar setelah melihat sorot lampu yang mengarah padanya, dan ia menyadari jika itu adalah mobil yang dikendarai oleh Arez. Sontak ia berdiri dan merapikan sedikit penampilannya, ia juga melihat Wira yang bersama Arez di balik kemudi.

“Anna.” Arez dengan sigap keluar dari mobil dan menghampiri perempuannya.

“Kamu kenapa masih di luar?” Arez memperhatikan Anna masih menggenggam tasnya.

“Pengen aja.” Ia tersenyum tipis.

“Lo kenapa dih nongkrong di luar, gak takut sawan?” Wira spontan bersuara.

“Lo masuk aja duluan.” Arez menyuruh Wira dengan gerakan tangannya.


Arez merasa heran akan tingkah Anna yang tidak biasa, perempuan itu menggenggam tangan Arez sedari masih di luar hingga saat ini mereka sudah sampai di kamar.

Lelaki itu menebak jika Anna tengah melamun, karena ia masih enggan melepaskan genggaman yang amat erat. Bahkan ketika Arez menyeretnya untuk duduk di sofa, ia bergeming.

“Anna?” Arez menyentuh helaian rambut Anna untuk ia rapikan, membuat perempuan itu kini tersadar.

“O-oh, maaf.”

“Kamu kenapa?”

Satu kalimat yang membuat Anna saat ini meluapkan emosinya, ia menangis setelah menatap netra hitam lelaki dihadapannya.

Dengan perlahan, Arez mendekap tubuh Anna. Ia membiarkan Anna menangis dalam dekapannya, ia tidak tahu apa yang telah membuat perempuannya menangis. Perlahan dia mengusap punggung Anna dengan lembut guna menenangkan, akan tetapi hal itu malah sebaliknya.

Tangisannya semakin pilu, dengan jelas ia mendengar jeritan tertahan yang keluar dari mulut Anna. Tubuhnya bergetar, cengkraman pada lengan Arez begitu kuat. Suara isakan yang terdengar membuat lelaki itu tahu betapa terlukanya Anna saat ini.

Ia tak akan bertanya, ia hanya akan menunggu jika Anna akan bercerita tentang kejadian hari ini.


Pagi itu kala mengunggu Arez mandi, Anna berbenah kamar merapikan tempat tidur namun saat ia sedang membuka tirai jendela, ia mendengar Arez memanggil namanya sontak perempuan itu menoleh.

“Kenapa Ka-shit!” Anna langsung menutup matanya.

Shampoo saya habis, boleh minta punya kamu ga?”

“Kenapa harus nanya, pake aja langsung.”

Okay.”

Anna mendengar pintu kamar mandi sudah tertutup, ia pun menurunkan tangannya yang tadi menutup matanya.

“Sialan tuh orang pagi-pagi udah bikin gue jantungan, nongol di pintu mana telanjang.” Anna menggerutu akan hal yang baru saja terjadi.

Shit my eyes, gue jadi mikir aneh-aneh.”


Kini Arez maupun Anna sudah bersiap untuk sarapan bersama, ketika Arez membuka pintu kamar ia mendapati Wira pun baru saja membuka pintu.

Kemudian Wira dengan sigap merangkul pundak Arez agar berjalan berdampingan diikuti Anna yang berjalan di belakangnya.

“Bentar.” Wira mengendus kepala Arez membuat sang empu terheran.

“Lo berdua abis mandi bareng kah?” Pertanyaan Wira membuat Anna membelalakan matanya.

“Ini lo pake sampo si Anna kan?” Arez hanya mengangguk santai.

“Wow.” Wira terseyum jahil melirik Anna.

“Mandi bareng.” Mendengar hal itu Arez menghentikan langkah, namun hal itu membuat Anna melancarkan aksinya.

“Anjing! Lo ngapain nendang gue Anna!” Ya, Anna menendang bokong Wira karena tak kuat mendengar ocehan aneh Wira pagi hari ini.

Perempuan itu mengabaikan Arez dan Wira, ia melenggang meninggalkan mereka berdua tepat setelah menendang Wira.

“Bini lo garang anjir.” Wira mengusap bokongnya yang kini terasa panas.

You know well she is.” Ujar Arez seraya tersenyum tipis.


Pagi itu kala mengunggu Arez mandi, Anna berbenah kamar merapikan tempat tidur namun saat ia sedang membuka tirai jendela, ia mendengar Arez memanggil namanya sontak perempuan itu menoleh.

“Kenapa Ka-shit!” Anna langsung menutup matanya.

Shampoo saya habis, boleh minta punya kamu ga?”

“Kenapa harus nanya, pake aja langsung.”

Okay.”

Anna mendengar pintu kamar mandi sudah tertutup, iapun menurunkan tanggannya yang tadi menutup matanya.

“Sialan tuh orang pagi-pagi udah bikin gue jantungan, nongol di pintu mana telanjang.” Anna menggerutu akan hal yang baru saja terjadi.

Shit my eyes, gue jadi mikir aneh-aneh.”


Kini Arez maupun Anna sudah bersiap untuk sarapan bersama, ketika Arez membuka pintu kamar ia mendapati Wira pun baru saja membuka pintu.

Kemudian Wira dengan sigap merangkul pundak Arez agar berjalan berdampingan diikuti Anna yang berjalan di belakangnya.

“Bentar.” Wira mengendus kepala Arez membuat sang empu terheran.

“Lo berdua abis mandi bareng kah?” Pertanyaan Wira membuat Anna membelalakan matanya.

“Ini lo pake sampo si Anna kan?” Arez hanya mengangguk santai.

“Wow.” Wira terseyum jahil melirik Anna.

“Mandi bareng.” Mendengar hal itu Arez menghentikan langkah, namun hal itu membuat Anna melancarkan aksinya.

“Anjing! Lo ngapain nendang gue Anna!” Ya, Anna menendang bokong Wira karena tak kuat mendengar ocehan aneh Wira pagi hari ini.

Perempuan itu mengabaikan Arez dan Wira, ia melenggang meninggalkan mereka berdua tepat setelah menendang Wira.

“Bini lo garang anjir.” Wira mengusap bokongnya yang kini terasa panas.

You know well she is.” Ujar Arez seraya tersenyum tipis.