Celebrate


Hendak mematikan lampu tidurnya, Bianca melihat Sean membuka pintu dengan kue dan dua buah balon yang berwarna senada dengan kue itu.

Happy birthday Bianca Tamaran.”

Sean duduk di samping Bianca yang sedang terdiam dengan wajah dan tatapan tak percaya, ia sama sekali tak menyangka jika Sean akan memberikan kue dan ucapan selamat ulang tahun untuknya.

“Pegang dulu bentar.” Sean menyerahkan kuenya kepada Bianca, kemudia lelaki itu keluar kamar lalu kembali dengan dua gelas sirup berwarna hijau seperti kue di tangannya.

“Sean, Thanks.” Ucap Bianca dengan seulas senyum tulusnya.

Lelaki itu menggelengkan pelan kepalanya seraya tersenyum tipis.

“No, gue minta maaf I would like to celebrate your birthday early but I have something to do.”

“Sean lo tau ga? Gue sama sekali ga berharap lebih apalagi dapet ucapan selamat ulang tahun dari lo karena kesepakatan kita itu yang hidup masing masing, tapi gue amat sangat berterima kasih lo inget bahkan kasih gue hal kecil yang bikin gue seneng banget.” Jelas Bianca dengan kekehannya.

“Lo seneng liat balon?” Sean mengerutkan dahinya.

“Bukan, tapi ini.” Bianca menunjuk krim yang bertuliskan angka dua puluh lima yang berada di atas kue itu.

Sean tidak mengerti dengan apa yang Bianca tunjuk, kue? Bukankah wanita di hadapannya ini sudah mendapatkan satu atau dua kue di hari miliknya ini?

“Sumpah demi spatula Spongebob yang amat sangat berharga, gue pengen kue yang ada angkanya Sean!” Bianca memekik senang, membuat lelaki itu mengusak pucuk kepala wanita di hadapannya dengan pelan dengan senyum tipis di bibirnya.

“Eh tapi kok lo bisa tau sih gue ulang tahun ke 25?” Tanya Bianca terheran.

“Gue udah pernah liat identitas lo dan semua ocehan lo di twitter.” Sahut Sean malas.

“Oh iya ya bener juga.”

“Lo mau hadiah apa dari gue?” Tanya Sean yang kemudian meneguk pelan gelas sirupnya seolah olah itu adalah wine.

“Ga, gue ga mau apa apa dan memang kebetulan lagi ga ada hal yang diinginkan.”

“Mobil baru?” Tawar Sean

“Gue belajar mobil aja belum.” Bianca menyolek kuenya dengan jari, mencicipi kue yang tercium wangi manisnya matcha.

“Katanya bareng Meewa?”

“Guenya lagi ga ada waktu, males.”

“Katanya ga mau dianter supir?” Sindir Sean

“Iya, tapi karena gue lagi males ga mood ngapa ngapain jadi yaudahlah ya sesekali memanfaatkan fasilitas yang lo kasih.”

“Sering juga gapapa, Bianca.”

“Buat apa?”

“Ya buat kenyamanan lo sendiri.”

“Tapi gue lebih nyaman bawa motor sendiri.” Ucap Bianca yang langsung saja dihadiahi tatapan menusuk Sean.

“Iya iya engga.”

“ATM gue belum lo pake sama sekali?”

“Ya mau gue pake buat apa?”

“Emang lo ga mau beli kebutuhan lo sendiri?” Sean memiringkan wajahnya menatap Bianca dalam cahaya redup.

“Kan gue juga punya gaji, ngapain pake duit lo? Lagian ngapain sih lo ngide ngasih gue ATM?”

“Menurut lo apa gue biarin lo terus terusan pake uang lo sendiri buat kebutuhan pribadi? Lo bisa manjain diri lo pake fasilitas yang gue kasih, beli baju, skincare, sepatu, makanan atau lo mau beli ponsel baru juga lo bisa gunain itu. Ini bukan masalah hidup masing masing, tapi disini gue itu suami lo yang mana harus cukupi apa yang lo butuhkan.”

“Tapi gue memang lagi ga butuh apa yang lo sebutin barusan, Sean.”

“Gue kasih ATM gue tiga bulan lalu, dan selama tiga bulan itu apa lo ga butuh baju baru? Skincare?”

“Baju gue masih cukup bagus dan masih banyak juga baju baru yang gue beli belum kepake, kalo skincare sebulan lalu Meewa kebetulan ngasih gue packaging lengkap dua set ga tau tuh dia ngasih dalam rangka apa.”

“Setidaknya tolong, kalo lo ada kebutuhan pakai ATM gue.”

“Iya nanti.”

“Oh iya, ayah sama bunda Meewa ngasih gue tiket liburan buat kita.”

“Kemana?”

“Jadi mereka tuh sebenernya ngasih gue voucher, nanti kalo gue mau liburan kemana mereka yang kasih segala kebutuhan akomodasinya.”

“Lo mau liburan kemana?”

“Gue mau diem aja di kamar.” Jawaban Bianca membuat Sean menatapnya dengan alis terangkat.

“Maksudnya gue tuh tipe orang yang mending diem aja ga kemana mana mending tidur, ga suka tempat rame.”

“Tapi itu hadiah dari orang tua Meewa buat gue juga.”

“Lo mau pergi?” Tanya Bianca dengan menatap lekat lelaki di hadapannya.

“Udah mereka persiapin kan? Dan itu pemberian, gue tinggal pergi.”

“Maksud gue gini, kalo lo pergi berarti gue juga ikut pergi dong kan ini liburan buat lo dan gue. Nah permasalahannya adalah apa lo baik baik aja pergi sama gue dan ninggalin seseorang disini?”

“Gue tau kok kalo lo masih sama Fanny, jadi daripada lo sandiwara di depan gue baik baik aja karena mau pergi berkat itu hadiah dari orang tua Meewa, tapi pikirin diri lo sendiri. Apa lo baik baik aja, apa lo bahagia?”

“Dan dari pada lo harus sembunyi sembunyi ketemu dia, mending kita udahan aja ini nikah nikahannya. Karena kalo lo sama gue, lo ga akan dapetin kebahagiaan, hidup lo ada di Fanny bukan gue. Jadi menurut gue, kejar aja kebahagiaan lo sendiri, Sean. Please lo ga usah mikirin Meewa atau Eric. Lo juga manusia yang berhak bahagia, sekarang Fanny ada. Jadi ga mungkin lo dinikahin sama Meewa kan?”

“Ini hari ulang tahun gue, dan lo tau apa harapan gue saat ini?”

“Apa?”

“Semoga lo bisa temuin hidup dan kebahagiaan lo sendiri, bukan terjebak dalam kesepakatan yang kita buat.”

“Harusnya lo berharap kebaikan untuk diri lo sendiri, bukan untuk orang lain, bukan gue.”

“Engga, gue udah cukup bahagia. Meewa sahabat gue udah lebih dari cukup.”

Sean masih menatap manik coklat Bianca, tak ada kebohongan, ia berkata jujur dan tulus untuk dirinya. Bagaimana bisa perempuan ini begitu ringan berucap tentang mengakhiri sebuah pernikahan hanya karena perasaannya yang ia sendiri tidak jelas seperti angin yang berhembus kemana. Bahkan ia bisa melihat jika Bianca begitu percaya diri dengan semua ucapannya.

Pleass, bawa kembali Fanny untuk hidup lo.”