Thank You.
Begitu tiba di apartemen, Sean merebahkan tubuhnya pada sofa seraya memijit pelipisnya. Sementara Bianca hanya berdiri kaku di samping sofa dengan helm yang masih ia peluk. Tercetak jelas tatapan tajam ketika meta mereka bertemu.
Saat Sean merubah posisinya menjadi duduk sontak Bianca mengatupkan bibirnya rapat seolah siap untuk dimarahi, dalam hatinya perempuan itu memanjat segala doa agar Sean tidak memarahinya. Lelaki itu merogoh saku celananya dan memberikan sebuah kunci pada Bianca, membuat perempuan itu menatap benda di tangan Sean dengan heran.
“Ga ada motor untuk kedepannya, lo bisa pake mobil gue.”
“Motor gue rusaknya ga parah kan masih bisa di service jadi gue ga perlu pake mobil lo.”
“Gue ga izinin lo lagi bawa motor.”
“Lah kok ngatur?”
“Lo mau kejadian lagi kayak tadi?”
“Ya enggalah, tadi gue lagi sial aja.”
“Berarti bapak yang lo tabrak tadi juga lagi sial?” Bianca meringis mendengar sindiran Sean.
“Maaf.” Cicit Bianca.
“Tangan gue pegel.” Ujar Sean yang masih mengulurkan kunci.
“Tapi gue ga bisa bawa mobil.” Ungkap Bianca, membuat Sean mematung.
“Kalo gitu dianter jemput supir aja.”
“Yakali gue ke pabrik pake supir, berlebihan banget.”
“Lo mau gimana?”
“Naik grab.” Sean mengernyitkan alisnya.
“Grabcar? Ya sama aja lo pake supir.”
“Grabike.”
Sean memejamkan matanya dan menghela nafas.
“Gue bilang ga ada lo naik motor lagi.”
“Kan gue ga bawa motor sendiri Sean, gue penumpang.”
“Pokoknya gue ga mau lo naik motor lagi, ga boleh.”
“Kenapa lo larang gue?”
“Ya lo pikir aja kalo bokap gue tau lo abis nabrak orang apa dia bakalan bolehin lagi lo naik motor?”
Ucapan Sean ada benarnya, jika ayah Sean mengetahui hal ini maka tidak akan baik juga untuk hidupnya. Dan kemungkinan terburuk menyuruhnya untuk resign.
“Oke, tapi gue ga mau selamanya dianter jemput.” Pernyataan Bianca membuat Sean menaikan alisnya.
“Gue mau belajar mobil.” Tambah perempuan itu.
Sean merogoh sakunya mengambil ponsel, mencari sesuatu di ponselnya.
“Mau di mana? Biar gue jadwalin.”
“No no nooo, ga usah. Biar gue minta Meewa aja, dia lagi ga ada naskahan jadi bisa.”
“Lo yakin?”
“Iyalah, masa dia ga mau bantuin gue biar bisa bawa mobil?”
“Kalo Meewa ga bisa kasih tau gue.”
“Lo mau ngajarin gue?” Pertanyaan itu membuat Sean memicingkan matanya.
“Iya iya lo jadwalin, kalo gitu udah ya ini masalahnya kelar?”
“Ya.”
“Oke, eh lo balik lagi ke resto ga? Ini masih setengah tujuh soalnya?”
“Mau.”
Bianca mengangguk kemudian melenggangkan kakinya menuju kamar, namun Sean dengan segera berlari meraih lengan perempuan itu.
“Loh?” Bianca terkejut.
Sean mengambil helm lalu melemparnya sembarang, kemudian membuka jaket hitam yang Bianca kenakan dengan paksa.
“SEAN LO KENAPA SIH?” Perempuan itu berentak.
“LO YANG KENAPA? KAKI SAMA TANGAN LO LUKA MASIH BERDARAH GA SADAR?”
Bianca terdiam mendengar suara Sean yang meninggi dan wajahnya yang merah padam.
Perempuan itu kini memeriksa bagian tubuhnya yang Sean sebutkan, benar saja, ia mendapati sikutnya yang masih berdarah. Dan samping pahanya pun terdapat luka yang sama, ia pikir ia hanya tergores pada telapak tangannya saja. Ia benar benar tidak menyadarinya dan merasa perih atau sakit.
“Duduk.” Bianca langsung patuh, ia tahu jika perintah Sean tidak dapat dibantah saat ini.
Pria itu segera mengambil kotak P3K yang terletak di bawah meja tv, dengan gesit duduk di karpet tepat dihadapan Bianca.
Sean menggunting jeans hitam yang melekat ditubuh Bianca, membuat sang empu meringis. Membuat pergerakan Sean terhenti dan menatap perempuannya.
“Perih?” Tanyanya datar.
“Bukan, ini jeans baru gue.”
Entah helaan nafas keberapa kali yang Sean keluarkan terhadap Bianca petang hari ini, bagaimana bisa ia memikirkan celana baru yang ia beli daripada luka yang ia dapat.
“Hermes? Besok gue beliin tokonya sekalian.”
“Maaf.”
“Kenapa minta maaf ke gue? Harusnya lo minta maaf sama diri lo sendiri, luka berdarah gini lo biarin. Ga kasian apa sama badan sendiri?”
“Ya lagian gue juga ga tau kalo ternyata gue luka sampe paha begini, sikut juga ga kerasa cuma nyadar telapak tangan aja lecet. Apa gue saking panikn-aww.”
“Gue kalo tau lo luka, langsung dibawa ke rumah sakit kali.” Sean dengan telaten membersihkan luka pada paha Bianca, tidak mempedulikan suara kesakitan yang perempuan itu keluarkan.
“Sean, perih.” Rengeknya.
“Waktu darah ngalir lo ga ngerasa masa ini gue obatin perih?”
“Itu lo pake alcohol ya perih anjir.”
Sean menatap Bianca tajam.
“Lo mau gue obatin ga?”
“Mau.” Suaranya pelan.
“Yaudah diem.”
Bibir Bianca mengerucut, sesekali menahan ringisan kala perih itu semakin menjadi. Jika bukan Sean yang melihat lukanya, mungkin ia tak akan menyadarinya sama sekali.
Dan ia hari ini Bianca menyadari jika Sean begitu sangat peduli padanya, bahkan saat lelaki itu membentaknya benar benar tersirat akan kekhawatiran.