Pasta


Bianca dipersilakan duduk di kursi yang sudah diperuntukan untuknya, sudut restoran yang berhadapan dengan jendela kaca yang memanjang memperlihatkan jalanan ibukota yang padat setelah aktivitas.

Restoran itu terlihat ramai pada jam pulang bekerja, namun gadis yang duduk dengan ponsel di tangannya jelas tampak gelisah. Ia merasa pandangan para pegawai tertuju padanya, apakah penampilannya ada yang aneh atau mereka mencium aroma tak sedap pada dirinya, benaknya terus bertanya.

Setelah mengirimkan pesan singkat, ia dapat melihat pintu pantry terbuka menampakkan seorang pria dengan baju kebanggaannya yang berwarna putih, berpadu dengan golden brown hair serta senyum yang terpatri di bibirnya yang menimbulkan lesung pipit manis.

Tidak dipungkiri jika Bianca kini terpesona melihat sosok pria yang tengah berjalan ke arahnya.

“Hai.” Sapa pria itu.

“Oh hai, gue Bianca Tamaran.”

“Lo naik motor dari tempat kerja ke sini sendiri?”

“Engga, gue bareng temen dia drop di pertigaan situ.”

Pria itu mengangguk.

“Juan.” Ia melambai pada seorang koki yang melintas.

“Pasta yang baru gue masak tolong bawain kesini.”

“Oke, Chef.”

“Lo suka pasta kan?” Tanyanya.

“Suka.”

Pria itu kembali mengangguk.

“Oh iya, gue cuma mau mastiin aja. Lo pastinya udah tau tentang gue kan? Maksudnya informasi tentang gue, kayak lo bisa tau latar belakang orang dengan mudah gitu.” Ujar Bianca.

No, itu melanggar kenyamanan privasi. Gue ga tau apa apa soal lo, cuma sebatas nama dan usia itu juga gue tau dari Meewa.”

“Kenapa ga lo sekalian aja tanya sama Meewa seluk beluk gue?”

“Ini alasannya gue minta ketemu, nanya langsung dan dapet jawaban yang jelas.”

“Hm, sebelumnya makasih lo bener bener menjaga untuk ga cari inform-”

“Selamat menikmati.” Juan, pria yang Sean minta untuk membawakan pasta membuat Bianca menghentikan ucapannya sejenak. Kemudian pria itu mengangguk seraya tersenyum kepada Bianca sebelum melenggangkan kakinya.

“Ini beneran lo sendiri yang masak?”

“Iya.”

“Makasih.” Bianca kemudian mencicipi pasta yang sengaja Sean sajikan untuknya, sementara Sean tengah memperhatikan bagaimana reaksi gadis di hadapannya terhadap pasta yang ia buat.

“Enak.” Ucap gadis itu dengan senyum simpulnya.

Sean mengangguk.

“Jangan lupa bayar, ga ada yang gratis.”

Kalimat tersebut membuat Bianca terdiam sesaat.

“Lo yang nyuruh gue kesini, masa iya gue yang bayar?”

“Bukan pake uang.” Sean terkekeh.

“Tapi bayarnya pakai informasi pribadi lo.”

Bianca mengerucutkan bibirnya merasa dipermainkan.

“Yaudah lo mau tau apa?”

“Ceritain aja tentang diri lo.”

“Oh oke, gue dari lulus kuliah sampe saat ini kerja di pabrik industri daerah selatan, belum ada rencana buat resign atau pindah cari pengalaman baru. Gue anak tunggal, ayah gue udah tenang di atas, ibu gue tinggal sendiri di kampung, di sini gue kos-ah ga jauh dari sini. Kenal Meewa dari kelas tujuh, kebetulan satu SMA dan satu kampus juga. Jadi ga heran kalo kita lengket kayak lem, dan sayang Meewa banget. Gue pengen liat Meewa bahagia, tapi pas denger dia mau dijodohin gue juga mau nangis. Ini gue ngomong serius ya ga becanda soal mau nangis denger itu, karena sesayang itu gue ke Meewa.”

“Lo di pabrik itu bagian apa?”

“Staff, administrasi produksi.”

“Selama tiga tahun?”

“Ya.”

“Ga ada rencana pindah sama sekali dari sana?”

“Ga, gue udah nyaman sama lingkungannya. Temen temennya humble kerjaan juga gak berat amat, udah perfect kalo misalnya pindah gue ga jamin punya kenyamanan itu semua.”

“Lo ga masalah soal gaji?”

“Kenapa emang?”

“Bukannya setara upah minimum regional?”

“Oh, gue di sana awalnya dapet penawaran dan ya tentunya kesempatan itu gak bisa gue lewatkan. Seenggaknya gue bisa negosiasi gaji.”

“Eh sorry gue ga sopan banget nanya upah.”

“Gapapa, ini bagian dari lo untuk mendalami peran pura pura pacaran.”

“Ah oke.”

“Ini kita kalo ada yang nanya kapan pacaran bilang aja belum lama ya, soalnya sus banget kalo dibilang udah lama. Sorry ya, informasi lo bertebaran di mesin pencarian google.”

“Paham.”

“Tiga atau empat bulan aja kali ya?”

“Terserah lo.”

“Yaudah empat bulan aja, kita kenal ga sengaja jangan bilang kenal gara gara satu tongkrongan lewat Eric atau Meewa orang bisa curiga.”

“Iya.”

“Ini kita udah sepakat kan jadi pacar boongan?”

“Memangnya kenapa?”

“Ya mastiin aja, bisa jadi lo berubah pikiran setelah denger tentang gue?”

“Engga.”

“Oke, berarti kesepakatan kita berakhir kalo Meewa sama Eric merried ya.”

“Hm.”

“Anjir, lama dong ya kalo beneran kata Meewa sekitar dua tahun.”

“Dua tahun apa?”

“Nunggu perusahaan Eric stabil, wah keburu tua dong gue?”

“Ya sama.”

“Ga gitu, maksudnya gue pengen nikah juga. Lo juga pasti mau nikah dong, masa nungguin Eric keburu lumutan dong.”

“Jadinya lo mau bantuin Meewa apa engga?”

“Iyalah mau, kalo engga ga bakalan ada di sini gue.”

“Yaudah tunggu sampe dua tahun.”

Bianca hanya bisa menghela nafas seraya menyandarkan tubuhnya pada kursi, membayangkan harus berpura pura memiliki sebuah hubungan di hadapan orang tua sahabatnya.