Maaf
Bianca yang baru saja keluar dari kamar mandi tak menemukan keberadaan Sean, ia tadi sempat berpikir jika lelaki itu masih terlelap. Namun ternyata ranjang yang semalam ia tiduri bersama sekarang kosong dengan bantal dan selimut yang belum dirapikan.
Ia kemudian merapikan ranjang itu lalu pandangannya ia alihkan pada jendela kamar apartemen Sean, ia dapet jelas melihat pemandangan ibukota dari ketinggian. Namun atensinya teralihkan pada tumpukan box miliknya di samping jendela.
“Gue males beresin bajunya sumpah masih capek, tapi masa iya engga di beresin ini rumah orang Bianca?” Ia merutuk pada dirinya sendiri.
Kemudian ia melangkahkan kakinya, mendekati lemari yang Sean kemarin malam tunjuk untuk dirinya tepat di samping lemari Sean.
“Oke, abis beresin baju ayo pergi Bianca!” Ia bersorak menyemangati dirinya sendiri.
Bianca keluar kamar setelah satu jam berkutat dengan pakaian yang ia susun di lemari, ia terheran mengapa selama itu Sean tidak menampakan dirinya di kamar. Aneh memang, ia tidak mengharapkan paginya akan indah seperti pasangan pada umumnya, malah ia ingin menghindarinya. Terlintas di benaknya mungkin Sean pergi ke suatu tempat tanpa memberi tahunya, memang sepenting itu dirinya sampai Sean harus memberi tahu? Tentu tidak, hanya sekedar partner dalam misi penyelamatan sabahat tersayang.
Saat netranya menelusuri setiap sudut apartemen yang bernuansa putih itu, ia mendapati Sean tengah berada di balkon ruang tengah dengan secangkir kopi ditangannya. Menyadari jika seseorang tengah menatapnya, Sean berbalik balas menatap Bianca.
Datar.
Tatapannya terlampau datar, Bianca tidak dapat menebak apa arti tatapan dan apa yang sedang dipikirkan Sean.
Malas berpikir, Bianca melangkah mengambil air minum. Setelah meneguknya ia berujar tanpa menatap Sean.
“Hari ini gue ada urusan di luar.”
“Urusan apa?”
Perempuan itu sedikit terkejut ketika ia berbalik mendapati Sean yang kini duduk manis di meja makan.
“Apa gue harus ngasih tau lo urusan gue apa?”
“Engga.”
“Oke, barusan gue cuma ngasih tau aja mau ke luar.” Ucap Bianca.
“Lo boleh pergi asal sarapan dulu.” Sean menatap Bianca masih dengan wajah datarnya itu.
“Oke.” Perempuan itu setuju untuk sarapan dahulu sebelum pergi, dan ketika melihat menu sarapan yang mungkin sudah Sean siapkan, ia terdiam. Kemudian netra coklatnya itu menatap Sean dan nasi secara bergantian.
“Lo ga suka? Ga usah dimakan.” Sean menyadari tatapan Bianca yang tersirat akan sesuatu.
“Bukan bukan gitu maksud gue, dimakan kok.” Sean melihat kepanikan melanda Bianca, lalu gadis dihadapannya ini mengangkat sendoknya menyantap sarapan.
“Sorry bahan di kulkas kosong jadi cuma ini aja yang bisa gue bikin.”
Bianca menatap Sean yang kini ikut memakan sarapan, sejenak ia berpikir tentang pria di depannya. Sean yang saat pertama kali bertemu dan Sean yang saat ini bersamanya begitu jelas berbeda.
“Gapapa, ini aja gue makasih banget udah dibikinin sarapan.”
Senyuman manis lesung pipit itu tak lagi menghiasi wajahnya, kini terganti oleh tatapan malas dan wajah datarnya.
Selesai dengan santapannya, Bianca berinisiatif untuk mencuci piring. Tentu ia sungkan, hanya tinggal makan saja tetapi itu juga merupakan tanda terima kasihnya pada Sean.
“Bianca, ada yang telepon.” Suara Sean menginterupsi kegiatan mencuci piring Bianca, lalu ia menoleh.
“Siapa?”
“Wawa.” Sean melihat siapa penelepon di ponsel Bianca yang terletak di meja makan, kebetulan pria itu masih belum beranjak dari sana.
“Tolong angkat maaf, loudspeaker.” Sean dengan segera menerima panggilan itu lalu kembali memainkan ponselnya.
“Bi, lo jadi kan pergi sekarang?
“Iya jadi?”
“Maaf ya gue ga jadi ikut, Bunda tiba tiba minta dianterin ke Surabaya.”
“Oh, gapapa gue bisa sendiri kok.”
“Naik apa?”
“Grab aja kayaknya, motor gue masih di kosan.”
“Oke deh, hati hati ya titip salam sama om Gio, bilangin maafin anaknya yang ini ga bisa dateng OH JANGAN LUPA BILANG KALO ANAKNYA UDAH NIKAH JUGA.”
“Iya iya bawel.”
“Durhaka lo, masa nikah kaga ngasih tau ayah sendiri parah nih emang anak satu.“
“Iya makanya ini mau minta maaf, udah ya gue lagi cuci piring.”
“Iya iya, hati hati ya sayangku cintaku kasihku bye bye.).”
Sean yang tadinya acuh dengan percakapan dua sahabat itu mulai tertarik untuk mendengarkan ketika Meewa mengatakan hal yang membuat ia sedikit terkejut.
“Lo mau ke tempat ayah lo?” Tanya Sean penasaran.
“Hah? Eh-iya kenapa?” Bianca menutup kran air, lalu megeringkan tangannya tanda ia sudah selesai dengan pekerjaanya tadi.
“Gue ikut.”
“Kema-? Loh ngapain ikut?”
“Lo katanya mau bilang ke ayah lo udah nikah, masa gue ga ikut?”
“Iya sih, tapi ngapain ikut gue kan bilangnya mau minta maaf ke ayah kalo gue nikah cuma buat nolongin Meewa, ga nikah beneran.”
“Iya gue ikut.”
“Ga usah.”
“Gue mau minta maaf juga, karena gue yang ngusulin pernikahan.”
Bianca terdiam, Sean memang benar. Ia yang mengajukan usul pernikahan dengannya, tetapi tetap saja ia tak mau Sean ikut karena alasan utamanya adalah untuk menghindar, ia tak ingin berada dalam suasana canggung saat bersama Sean.
Lagi pula ia ingin meminta maaf pada ayahnya karena ia menikah karena sebuah kesepakatan, bukan atas dasar perasaan. Karena ia sendiri sedang mencoba untuk berdamai dengan perasaanya itu sendiri, perasaan yang masih menyimpan kenangan pahit di masalalu.
Dan jauh di dalam lubuk hatinya, Bianca takut akan kehadiran Sean.