Angin dan Laut


Sean menghampiri meja kasir yang terletak di dekat pintu masuk, ia bermaksud menunggu Bianca yang beberapa menit lalu memberi tahunya jika sang gadis akan segera sampai di restoran miliknya.

“Ada apa, Chef?” Tanya seorang kasir dengan senyum mengembangnya.

“Ah, engga.” Sean mengambil buku menu yang ada di hadapannya dan membuka lembar demi lembar menu itu.

Dua perempuan yang berada di meja kasir itu hanya saling melirik dan membatin melihat tingkah Chef kebanggaan mereka, apalagi saat ini ayahnya ia tinggalkan di meja yang sedang memakan Canape Caprese.

“Chef, itu ayahnya ga ditemenin?”

“Gapapa, ga bakal ilang.” Sahutnya asal.

“Bukan gitu Chef, nanti orang ngiranya Chef lagi marahan sama ayahnya.”

“Iyakah? Kata siapa?” Sean tersenyum simpul tanpa mengatahui seorang gadis yang tengah memperhatikannya di ambang pintu restoran, dan tanpa sadar gadis itupun meyunggingkan bibirnya.

“Kata Aku Chef, tuh liat lagi cemberut.” Dua kasir itu tertawa akan canda yang sebenarnya tidak lucu.

“Oh iya Chef, kemarin yang duduk di meja nomor 9 siapa?” Tanya gadis berambut ikal.

“Pacarnya ya?” Sahutnya lagi.

“Loh, itu mbaknya bukan?” Tunjuk gadis yang berdiri di hadapan Sean pada seseorang di ambang pintu.

Sean yang memalingkah wajahnya melihat Bianca yang tiba kemudian terseyum, kemudian ia melirik dua pegawainya itu dengan sebuah anggukan. Membuat dua gadis itu menjerit tertahan karena jawaban dari Sean.

Bianca yang kini menjadi pusat perhatian tiga orang di depannya kini melangkah menghampiri Sean.

“Hai.” Sapa Sean sama seperti pertama kali bertemu.

Sorry telat, tadi macet banget.”

“Gapapa.” Sean kemudian meraih jemari Bianca tanpa aba aba tepat di hadapan dua pegawainya itu menambah jeritan tertahan lagi, tentu saja hal itu membuat Bianca luar biasa terkejut.

Gadis itu sontak ingin melepaskan genggaman Sean, namun lelaki itu mengenggamnya erat.

“Diem, itu ada ayah gue.” Bisiknya.

Degupan jantung Bianca kini terasa berkali kali lipat, saat Sean menggenggam jemarinya ia terkejut dan sekarang ia gugup karena akan bertemu dengan ayah Sean.

Lelaki di sampingnya itu menuntun Bianca untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan ayah Sean.

“Maaf, Chef kayaknya harus liat ke pantry dulu.” Ucap salah satu koki dengan raut wajah seriusnya.

“Maaf, tunggu dulu sebentar.” Sean mengusap pelan pucuk kepala Bianca, membuat gadis itu melebarkan matanya. Sungguh, perlakuan Sean tidak baik untuk kesehatan jantung Bianca.

“Ha-alo Om, selamat sore.” Bianca luar biasa gugup berhadapan dengan orang yang ada di depannya kini.

Pria paruh baya itu menyeka sudut bibirnya sesaat dengan tisu, kemudian ia menyambut Bianca dengan seulas senyum tipis.

“Sore, Bianca Tamaran?”

“Iya saya, Om.”

“Saya Angga Malviano, ayah Sean. Kamu ga keberatan kan ketemu saya?” Tanya Angga.

“Enggak kok Om, kenapa harus keberatan hehe.”

“Oh ya?”

“Iya, cuma gugup aja Om.”

“Gugup kenapa?”

“Sedikit merasa terbebani sebetulnya.”

“Loh, kenapa jadi terbebani ketemu saya?”

“Takutnya Om punya ekspektasi lebih sama Bianca.”

“Ekspektasi seperti apa?”

“Status sosial mungkin, atau Om gak suka kalo Sean berhubungan sama Bianca.”

“Nah saya mau tanya deh, kamu kenapa bisa suka sama anak saya?”

Pertanyaan Angga tentu saja membuat Bianca terdiam cukup lama, ia sudah menyangka pertanyaan ini akan terlontar tetapi tetap aja ia tak bisa menjawab.

“Apa menyukai seseorang harus punya alasan Om?”

“Tidak.”

“Kalo Om tanya kenapa bisa Bianca tertarik sama Sean, itu karena Sean sosok yang baik. Waktu pertama ketemu Sean itu waktu Bianca pulang kerja malem, kebetulan hujan deres dan aneh banget motor Bianca mogok tiba tiba padahal baru beres di service bulanan. Om tahu jalan yang dulunya dipakai lintasan pesawat di dekat danau seberang pemukiman bawah tol?”

“Tentu tahu.”

“Bianca udah panik sendiri ga tau harus apa, disana ga ada orang. Tapi Sean keluar dari mobilnya tanpa payung, bener ujan ujanan basah kuyub bantuin Bianca buat nyalain motor.”

Angga mengangguk paham mendengar bualan yang keluar dari mulut Bianca.

“Kebaikan dan ketulusan Sean yang membuat Bianca tertarik, Om tahu Sean itu seperti angin, ia datang tanpa peringatan tak dapat dilihat tapi bisa dirasakan. Angin itu menggerakan Bianca, berbisik untuk lebih mengenal sosok Sean, bukan Chef Sean ataupun seorang Sean yang menyandang nama Malviano, tapi seorang Sean yang begitu baik memperlakukan manusia lain dengan caranya sendiri, membuat Bianca begitu aman dalam setiap perlakuannya.”

“Tapi angin yang besar bisa sangat berbahaya.” Timpal Angga.

“Benar, tak dipungkiri jika sewaktu waktu angin yang hanya melambai bisa menjadi malapetaka. Entah kapan akan menggiring ke tepian, tapi jika di lautan nakhoda akan berusaha untuk menaklukan badai. Sama seperti Sean dan Bianca dari kita masing masing mungkin bisa menjadi nahkoda tersebut.”

“Bianca, kamu sudah seberapa paham dan mengenal Sean?”

“Em, sejujurnya Bianca gak tau karena kita memang belum cukup lama saling mengenal, jadi kita masih dalam tahap saling memahami dan mengerti satu sama lain.”

“Kamu mencintainya?”

“Perlakuan Sean cukup bisa dipahami saat kami meluangkan waktu, Bianca merasa aman saat diperhatikan, disayangi dan dicintai. Tentu Bianca juga akan memberikan rasa aman, sayang dan cinta untuk Sean.”

“Kamu bilang tidak ingin mengenal Sean sebagai seorang Malviano, kamu sadar apa maksudnya it-” Kalimat Angga terhenti ketika pundaknya ditepuk oleh Sean yang entah sejak kapan berada di belakang Angga dan mendengar kalimat yang akan ayahnya lontarkan.

“Bianca awalnya ga tau kalo Sean punya Malviano dalam namanya, cuma tahu Sean itu juri Master Chef. Dan Sean ga melihat kalo Bianca mendekati aku karena nama itu, aku bisa jamin, Yah.” Ujar Sean.

“Ya, Ayah ga permasalahkan itu toh. Ayah udah liat ko dia tulus sama kamu, dengerin Bianca ceritain kamu sambil senyum kaya orang gila aja jelas banget.”

“Loh, emang tadi Bianca senyum senyum gitu waktu ceritain Sean, Om?”

“Cek cctv gih, liat anak gadis orang kasmaran gara gara anak Ayah rasanya agak sedikit malu, tapi pengen bawa ke rumah sakit sih takut kenapa napa soalnya.”

“Om, ih emang tadi Bianca bilang apa aja emang ko bisa senyum kaya orang gila sih?” Gadis itu tak terima mendengar ucapan Angga.

Bianca kembali terkejut akan tindakan mendadak Sean, lelaki yang duduk di sampingnya ini kembali menggenggam jemarinya yang berada di atas meja. Tentu saja hal itu tak luput dari perhatian Angga.

“Karena Ayah udah tahu gimana perasaan Bianca terhadap Sean, dan aku ga mau kehilangan Bianca. Waktu ga bisa menjadi jaminan apakah mengenal lama atau sesaat bisa membuat kami lebih menyayangi sedalam lautan. Namun Sean yakin, kali ini Bianca merupakan tempat untuk Sean pulang, tempat ternyaman dan teraman, dunia Sean lebih hidup karena kehadiran Bianca. Jadi Sean saat ini meminta izin pada Ayah untuk memberikan persetujuan untuk menikahi Bianca.”