Jeffry


Tepat pukul lima sore, Wilfan menghampiri Disya. Perempuan itu telah menunggunya selama dua puluh menit setelah jam kantor usai, bahkan ia telah menghabiskan sisa egg roll dua box kecil sisa santapannya saat siang tadi.

“Nunggu lama?” Tanya Wilfan yang kini tanggannya seraya mengelus pucuk kepala Disya dengan lembut.

Perempuan itu mematikan perangkat komputer miliknya, kemudian dengan sigap berdiri.

“Engga kok, ayo.”


“Sekalian dinner gak nih?” Wilfan masih dengan tatapan fokus pada jalan di depannya.

“Engga deh, mau masak aja.”

“Masak? Bisa emangnya?” Wilfan bertanya dengan nada mengejek.

“Lo masih meragukan kemampuan masak gue, kak?” Disya menatap Wilfan dengan sinis.

“Ya masalahnya nugget goreng waktu itu masih inget gue, haha.”

“Sialan, gue udah bilang berapa kali ya masalah nugget gosong. Itu nugget gue tinggal ke toilet, ngambil shampoo buat temen-temen lo yang abis berenang mau mandi.” Disya menjelaskan tentang ingatannya dulu saat berlibur bersama teman anggota organisasinya semasa sekolah.

“Iya deh iya-eh benerkan apart lo kemaren disini?” Wilfan memperhatikan lokasi sekitar di area apartemen milik Jeffry.

“Iya bener kok tapi mending kita ke basement dulu deh, ada yang mau gue omongin sama lo, kak.” Disya menatap manik Wilfan serius.

Tak ada respon dari Wilfan, lelaki itu hanya balik menatap Disya. Mencoba menebak apa yang akan perempuan disampingnya ini sampaikan, atau mungkin tentang pernyataanya kepada Disya hari kemarin.

“Oke.” Wilfan kembali melajukan kendaraannya menuju basement dengan kebisuan yang menjalari keduanya.

Bahkan setelah kendaraan roda empat Wilfan sudah terparkir di basement, Disya masih hening tak bersuara. Sampai lelaki disampingnya itu, hanya memperhatikan gerak-gerik gelisah Disya yang terlihat jelas.

“Sya, look at me.”

Disya mengigit bibir bawahnya, menandakan bahwa ia sangat gelisah saat ini.

What do you want to talk with me?”

“Kak... soal confess lo kemaren, gue..” Disya memejamkan matanya seolah tak sanggup dengan apa yang akan keluar dari mulutnya sendiri.

“Jujur, gue seneng banget ternyata perasaan gue selama ini berbalas. Gue bahkan sama sekali ga pernah nunjukin perasaan gue sama lo, gue cuma bisa pendem apa yang gue rasain sama lo waktu itu.”

Wilfan mendengarkan dengan tenang rentetan kalimat yang keluar dari mulut Disya, nemun perlahan tangannya meraih tangan perempuan disebelahnya itu untuk ia genggam.

“Makasih banget kak, lo gak membiarkan perasaan gue terbuang sia-sia. Makasih juga karena gue udah dipertemukan kembali sama lo, apalagi dengan kabar bahwa lo suka sama gue.” Disya masih menunduk, tak bisa menatap manik hitam Wilfan.

“Dan penantian gue akhirnya berhasil.” Perempuan itu tersenyum kecut.

So.. now we can date?” Pertanyaan itu sontak membuat Disya menatap manik hitam Wilfan, membuatnya mengerjap beberapa kali.

Belum sempat menjawab pertanyaan Wilfan, Disya terkejut kala mendapati tubuh Wilfan yang semakin mendekat padanya, bahkan lelaki itu mencoba untuk mengcup bibir Disya.

Dengan cepat perempuan itu memalingkan wajahnya, hingga bibir Wilfan hanya menyentuh pipi Disya.

“Kak..” Lirih Disya.

Sorry, i just.. i can't control myself.”

I can't kak, you too late again.” Tanpa perintah, cairan bening di pelupuk mata Disya menelusuri pipi tirusnya.

Hey, are you crying?” Wilfan kembali mendekat, namun Disya menghindar.

Ia mengusap kasar pipinya yang basah karena air matanya sendiri.

“Kak, lo tau Jeffry Adnan Wibireksa kan?” Pertanyaan mendadak Disya membuat Wilfan mengerutkan keningnya.

“Jeffry?”

“Iya, sepupu Diaz. Dia suami gue, kak.”


Disya membuka pintu apartemen Jeffry dengan sisa tenaga yang ia miliki, beradu argumen dengan Wilfan setelah pengakuannya akan siapa sosok Jeffry membuat tenaganya terkuras.

Kini ia berada dalam apartemen milik Jeffry namun masih dengan suasana gelap dan senyap, tidak ada tanda keberadaan sang pemiliknya.

Disya menjatuhkan tubuhnya pada sofa, mencoba mengistirahatkan tubuh serta pikirannya yang sedang berkecamuk.

Tak lama, bunyi pintu apartemen yang terbuka membuat Disya segera menoleh. Mendapati Jeffry yang bergeming setelah menutup pintu dan menekan saklar lampu, membuat mereka hanya saling menatap dalam diam.

“Jeff, kok lo ba-”

“Lo kenal Wilfan?” Tubuh Disya menegang mendengar pertanyaan Jeffry.

“Gue tanya, lo kenal Wilfan?” Jeffry menyandarkan tubuhnya pada pintu apartemen dengan tatapan datarnya.

“Kenal.” Sahutnya pelan.

“Oh pantes, berarti yang gue liat tadi di basement ga salah ya.”

“Lo liat gue, Jeff?”

“Iyalah, masa gak liat ada orang yang lagi berbuat gak senonoh, mana ceweknya istri gue.” Jeff melangkah menuju kamarnya seraya melepaskan jas yang masih melekat ditubuhnya.

“Jeff gue bisa jelasin.” Disya berdiri menghampiri Jeffry.

“Jelasin apa? Lo selingkuh sama mantan suami sepupu gue? Gitu?”

“Jeff, please dengerin gue. Gue sama kak wilfan gak ada apa-apa, gue sama dia cuma sebatas rekan kerja. Atasan dan bawahan, gak ada yang namanya selingkuh kayak lo bila-”

“Gue bahkan liat lo lagi ciuman di mobil Wilfan, ternyata dugaan gue selama ini salah ya. Gue kira lo cuma masih belajar buat menerima gue, tapi ternyata perasaan lo nyangkut di orang lain. Bukan gue, fine kalo itu mau lo, besok kita ke rumah orang tua lo.”

“Rumah?”

“Gue minta anaknya baik-baik, dan balikin anaknya harus baik-baik juga.”

“JEFF!” Suara Disya membuat telinga Jeffry mendengung, tapi ia mengabaikannya, ia masih menatap Disya di hadapannya dengan malas.

“Gue gak mau, lo salah paham, gue gak mau lo bawa balik ke rumah, gak mau!” Disya segera menyambar tas miliknya yang masih tergeletak di sofa secara terburu-buru.

“Lo ngelantur Jeff, nanti kita bicarain lagi.” Disya melangkah keluar meninggalkan apartemen Jeffry.

Bahkan dengan jelas Jeffry sempat melihat Disya menitikan air matanya, membuat lelaki itu kini mengacak rambutnya kasar tanda ia frustasi akan apa yang sedang terjadi pada mereka.